Bab.2 Along (Cinta Pejuang Al-Aqsha)

Bab.2 Along (Cinta Pejuang Al-Aqsha)

Oleh: Rudi Hendrik

“Mimpi perang di Jalur Gaza? Wow! Subhanallah! Hahaha! Mimpi perang di Palestina!”

Afrizal berbicara sendiri dengan raut wajah yang sumringah dan menyiratkan rasa bangga. Tiba-tiba ia menggerak-gerakkan tubuh atasnya dengan kedua tangan mengepal dan menekuk di depan dada. Afrizal berjoget tanpa musik. Irama jogetnya seolah terdengar di dalam imajinasinya.

“Hahaha!”

Tidak lama Afrizal berjoget, hingga akhirnya ia berhenti dan tertawa keras sendiri, menunjukkan bahwa ia begitu bahagia

Ia lalu berjalan di titian sebatang bambu untuk sampai ke lantai bambu di sekitar rumah mininya. Setibanya di rumah mini itu, Afrizal duduk dan memperhatikan ke bawah, ke dalam air laut yang diterangi oleh lampu petromak. Tampak telihat ada beberapa ikan ukuran kecil yang berenang berputar-putar di bawah cahaya lampu.

“Sepi,” ucapnya lirih. Lalu batinnya berkata, “Pas saya jatuh pasti ikannya pada kabur, hahaha.”

Afrizal lalu mengambil sehelai handuk kemudian mengelap kepala dan badannya yang basah. Ia mengambil timba dari ember hitam ukuran sedang yang diikatkan pada seutas tambang. Ember itu dilempar ke bawah bagan. Dengannya ia mengambil air laut. Dengan air laut itu kemudian ia melakukan praktik wudu tanpa melakukan kumur-kumur.

Usai berwudu, Afrizal meraih baju kaos dan memakainya. Tapi, tetap dengan celana training yang masih basah, ia berdiri bertakbir memulai salat di atas selembar triplek tebal yang bersih dari bekas-bekas sisik ikan. Jenis bagan tancap membuat bagan itu tidak goyang oleh gelombang, sehingga Afrizal bisa salat dengan tenang. Berbeda jika bagan perahu atau jerigen yang tidak pernah berhenti bergoyang dimainkan oleh ombak.

Tepat setelah dapat dua rakaat, sayup-sayup suara azan subuh terdengar di kejauhan, bersumber dari masjid dan musala di daratan di sisi timur sana, tepatnya di kaki Gunung Rajabasa.

Masuknya waktu subuh membuat Afrizal meneruskan salat sunnah dua rakaat yang dilanjutkan dengan iqamah dan salat subuh. Setelah berzikir, ia pun berdoa.

“Ya Allah, izinkanlah hamba yang belum tahu sedikit pun tentang Palestina dan Masjid Al-Aqsha, kecuali hanya mendengar ceritanya saja, bisa merasakan debu-debu jihad pembebasan Masjid Al-Aqsha. Ya Allah, izinkanlah hamba bisa salat di dalam Masjid Al-Aqsha, meskipun harus dipenjara dulu oleh tentara Zionis Israel.”

Itulah salah satu baris doa Afrizal dari sekumpulan doanya yang selalu ia panjatkan kepada Allah.

Dan kini, waktunya Afrizal beraksi. Ia masuk ke dalam rumah mininya lalu menarik naik dua lampu petromak dan membiarkan satu tetap tergantung di atas air.

“Alhamdulillah!” pekik Afrizal tiba-tiba.

Pekik kesenangan itu muncul karena Afrizal melihat ada beberapa bayangan ikan besar sempat terlihat di dalam air. Ikan itu tidak sekedar melintas, tapi berputar di bawah cahaya lampu.

“Ya Allah, semoga along,” ucapnya lirih tapi gembira.

Along adalah istilah yang dipakai oleh nelayan Bugis yang berarti dapat ikan banyak yang melimpah.

Afrizal segera keluar dari rumah mini dan pergi meniti sebatang bambu untuk sampai ke alat putaran tali jaring. Alat itu berbentuk kayu besar bulat panjang, tempat melilit empat utas tambang besar yang ujung lainnya terulur kencang ke dalam laut di empat titik bujur sangkar. Di tengah-tengah kayu besar itu terdapat kayu-kayu pegangan untuk memutar.

Dengan mengerahkan tenaga yang besar, secara perlahan Afrizal menarik tuas-tuas kayu secara bergantian sehingga kayu panjang itu berputar perlahan melilit naik tali yang terulur kencang ke dalam air.

Suara deritan bambu bagan terdengar setiap kali tali bergerak naik. Demikian beratnya beban yang ditarik, membuat Afrizal pun menggunakan jasa kakinya untuk menahan tuas agar tidak berputar balik. Sebab jika berputar balik, beban akan turun lagi dengan cepat.

Setelah sekitar empat menit mengerahkan tenaga besar, dari dalam air di bawah bagan muncul perlahan empat batang bambu panjang yang saling menyambung naik ke permukaan. Semakin naik bujur sangkar bambu itu keluar dari dalam air, maka tampaklah dinding jaring yang ikut naik, sehingga terbentuk medan air yang terkurung oleh jaring hitam yang berpori-pori kecil. Ikan-ikan atau binatang laut yang terkurung oleh dinding jaring yang besar itu, sudah sangat pasti tidak akan bisa lolos, sebab jaring itu sudah tidak memiliki lubang lagi.

Setelah keempat bambu yang merupakan bibir jaring sudah merapat di atas bagan, Afrizal mengunci tuas putaran agar tidak berputar balik. Maka, di bawah bagan yang sudah terkurung jaring, terlihat sejumlah ikan berenang panik, tapi tidak bisa ke mana-mana.

Sejenak Afrizal memperhatikan ke dalam jaring dan bertanya kecil, “Mana ikan besarnya?”

Memang, Afrizal tidak melihat adanya ikan besar yang berenang di dalam air yang sudah terkurung. Yang tampak hanya beberapa ikan kecil dan beberapa ekor cumi-cumi. Tapi, jaring yang masih tenggelam masih besar, belum semuanya diangkat.

“Ah, itu dia!” pekik Afrizal akhirnya.

Dari dalam air yang terkurung jaring muncul bayangan satu ikan besar. Meski hanya satu yang terlihat, Afrizal dengan senang segera bergerak ke sana dan ke sini, menarik beberapa tali pendukung, sehingga sebagian demi sebagian jaring terangkat naik lebih banyak. Hingga akhirnya, semua jaring hitam besar itu sudah terangkat.

Kini terlihatlah hasil tangkapan jaring bagan Afrizal. Ada dua ekor ikan sebesar kaki orang dewasa bersama sejumlah ikan kecil dan cumi-cumi.

Sebegitu senangnya, Afrizal kembali berdiri sambil berjoget menggerak-gerakkan bahunya seperti tadi, seolah sedang terhanyut oleh musik yang memabukkan. Setelah tertawa, barulah ia melakukan sujud syukur.

Alhamdulillah, alhamdulillah! Hahaha!” ucap Afrizal bertahmid berulang-ulang.

Setelah sekian lama, akhirnya ia mendapatkan juga tangkapan besar. Terakhir ia along ikan pada lima bulan yang lalu. Belakangan kondisi laut selalu bercuaca buruk dan persediaan ikan di Laut Kalianda itu seolah telah habis. (RH)

 

Bersambung ….

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *