“Mpok tadi melempar saya ya? Kenapa, Mpok?” tanya Irwan yang sudah menurunkan penutup wajahnya.
Pertanyaan itu malah membuat Syamsiah tertawa lebih keras.
“Enggak, Mpok cuma mau bicara sama kamu,” jawab Syamsiah.
Kata-kata Syamsiah membuat Lestari semakin was-was di tempat duduknya. Pekerjaan tangannya berhenti sementara. Kata-kata Syamsiah memberi gelagat yang tidak enak baginya.
“Anak Mpok, Niar, mau Mpok ikutkan mengaji sama kamu,” kata Syamsiah.
Meski wajahnya diam, tapi perkataan Syamsiah membuat Lestari lega.
“Tidak apa-apa, Mpok. Nanti malam ikut ngaji saja,” kata Irwan seraya tersenyum.
“Iya.”
“Hanya itu, Mpok?” tanya Irwan.
“Sama ini, eee…” kata Syamsiah lalu agak berpikir. “Mpok mau tanya sesuatu, boleh tidak?”
Tek!
Lestari yang merasa sudah aman, mendadak kembali tegang mendengar kata-kata Syamsiah.
“Silakan, tidak apa-apa, Mpok. Asal jangan minta dibayarin utang,” kata Irwan sedikit berseloroh.
Syamsiah tertawa. Lestari hanya tersenyum. Senyum Lestari ternyata menarik mata Irwan untuk memandang kepadanya.
Deg!
Tepat ketika temu pandang dengan Irwan, Lestari seolah digigit semut cinta. Tapi Irwan pula yang lebih dulu alihkan pandangannya kembali kepada Syamsiah.
“Tapi kamu jangan marah, ya?” kata Syamsiah.
“Insya Allah tidak, Mpok,” tandas Irwan seraya tersenyum meyakinkan.
“Itu, memangnya tidak apa-apa salat di tempat kotor debu seperti itu?” tanya Syamsiah, lalu sekilas melirik Lestari.
Lestari yang dilirik hanya diam, tegang di dalam hati.
“Insya Allah enggak, Mpok. Setahu saya, selama tidak ada najis, salat di atas tanah pun tidak mengapa. Bahkan debu bisa dipakai buat bersuci. Apalagi kondisi di sini sangat sulit mencari tempat yang bersih dari debu. Makanya terkadang saya salat di atas papan yang lebih bersih,” ujar Irwan.
“Iya, anak-anak di sini kadang enggak salat karena alasan tempatnya gak ada yang bersih,” kata Syamsiah.
“Bagaimanapun kondisinya, salat lima waktu jangan sampai ditinggal walau sekali pun, Mpok,” kata Irwan.
“Dengarin tuh, Tari. Enggak ada alasan!” kata Syamsiah kepada Lestari.
“Ih, Mpok. Kok saya sih?” kata Lestari sedikit merengut.
Irwan hanya tersenyum melihat sikap Lestari.
“Ya udah, Wan. Terima kasih atas pencerahannya,” kata Syamsiah seraya tersenyum.
“Iya, Mpok. Sama-sama.”
Irwan lalu beranjak pergi kembali ke tempat kerjanya. Setelah itu, ia bekerja sebagaimana ritme biasanya. Giat dan cepat.
“Hahaha!”
Seperginya Irwan ke tempat tugasnya, Syamsiah tertawa kepada Lestari.
“Mpok ada-ada saja, pakai panggil Irwan ke mari!” gerutuh Lestari merengut tapi tidak marah.
“Mpok enggak panggil kok, dia sendiri yang datang,” kata Syamsiah masih tertawa. “Kok kamu yang ketakutan? Puas ya, bisa memandang puas dari dekat? Hahaha!”
Akhirnya Lestari tersenyum malu.
“Mpok buat saya ketar-ketir,” keluh Lestari lagi.
“Hahaha. Mpok juga pernah muda, Tari. Situasi-situasi seperti ini adalah waktu-waktu yang penuh kesan dan sulit terlupakan. Coba saja, Mpok yakin, nanti malam kamu sulit tidur,” ujar Syamsiah.
“Enggak mungkinlah Irwan ngelirik cewek-cewek seperti kita yang enggak pernah salat,” kata Lestari.
“Nah, itulah masalah kamu, Tari. Belum apa-apa sudah pesimis duluan, sudah nyerah duluan. Kalau mau mancing dia, ya kamu salat dong,” kata Syamsiah.
Hingga akhirnya, jam kerja pun berakhir. Para karyawan pria sibuk membersihkan tubuh mereka dari debu menggunakan semprotan angin. Termasuk Irwan, ia harus membersihkan tubuh, pakaian dan rambutnya dari debu.
Irwan adalah seorang pemuda yang tidak memiliki kendaraan. Karenanya ia pergi dan pulang kerja mengandalkan angkot. Lokasi pabrik Gayanomi berjarak 200 meter dari jalan raya.
Irwan berjalan sendiri menuju jalan raya. Beberapa puluh meter di depannya berjalan rekan kerjanya yang lain.
“Irwan!”
Satu panggilan suara perempuan terdengar dari belakang Irwan. Pemuda itu segera menengok ke belakang. Tampak Syamsiah yang berjalan bersama beberapa gadis karyawan Gayanomi melambaikan tangan kepada Irwan. Di antara para gadis itu tidak ada Lestari, karena dia pulang dengan sepeda ke arah yang berbeda.
Syamsiah berlari kecil meninggalkan kawanannya dan mengejar keberadaan Irwan. Hal itu membuat Irwan bertanya-tanya dalam hati. Irwan berpikir, seharusnya Syamsiah tidak berpisah dengan para gadis yang lain, sebab mereka pulang ke arah yang sama, meski nantinya turun dari angkot di pemberhentian yang berbeda.
“Bareng, Wan,” kata Syamsiah.
“Gak sama yang lain, Mpok?” tanya Irwan seraya tersenyum, tapi dalam hati ia keberatan jika harus pulang berdua saja dengan Syamsiah.
“Ini khusus, Wan. Sebab ada yang Mpok mau tanya secara pribadi sama kamu,” kata Syamsiah.
“Tapi, bagaimana kalau Mpok tanya sekarang aja, lalu nanti naik mobilnya bareng sama yang lain,” kata Irwan sambil mulai berjalan kembali menuju jalan raya.
“Oke deh, Mpok ngertilah maksud kamu,” kata Syamsiah.
“Maaf nih, Mpok,” ucap Irwan, khawatir Syamsiah merasa tersinggung.
“Enggak apa-apa, Mpok ngerti kok,” tandas Syamsiah. “Wan, kamu belum punya pacar?”
Tek!
Pertanyaan itu langsung mengena di jantung Irwan. Itu benar-benar pertanyaan yang pastinya akan menjurus ke hal yang pribadi.
“Semoga jangan sampai, Mpok,” kata Irwan seraya tersenyum tanpa memandang Syamsiah yang berjalan di sebelahnya.
“Berarti belum ya? Tapi kenapa jangan sampai?” tanya Syamsiah.
“Gak boleh, Mpok. Agama melarang punya pacar,” jawab Irwan sederhana.
“Yah, Wan. Padahal ada yang naksir kamu, lho,” kata Syamsiah dengan nada kecewa.
Di dalam hati Irwan sebenarnya bersemi bunga-bunga kebahagiaan saat mengetahui bahwa ada yang jatuh hati kepadanya.
“Siapa, Mpok?” tanya Irwan.
“Mpok enggak jadi sebut deh kalau kamu memang gak mau,” kata Syamsiah.
“Tapi mungkin saya bisa pertimbangkan langsung melamar kalau menurut saya cocok, Mpok,” kata Irwan terbuka.
“Benar, nih?” tanya Syamsiah seolah minta peyakinan dari pemuda jomblo di sampingnya.
“Siapa?” tanya Irwan lagi, penasaran.
“Lestari,” jawab Syamsiah akhirnya.
“Lestari?” ucap ulang Irwan seraya berhenti melangkah. Ada senyum di wajahnya kepada Syamsiah yang ikut berhenti berjalan.
“Kok kamu senyum begitu, Wan?” tanya Syamsiah penasaran.
“Enggak sangka, Mpok,” jawab Irwan lalu berjalan lagi.
“Lestari enggak masuk hitungan kamu ya? Memang kamu ngitung siapa di Gayanomi?” tanya Syamsiah curiga.
“Gak nyangka, karena Lestari kalem sekali, Mpok. Kaget saja kalau sampai naksir saya. Tapi Mpok tidak mengerjai saya kan?” kata Irwan.
“Di sambar kupu-kupu kalau saya dusta, Wan,” tandas Syamsiah.
“Saya sih enggak masalah, mau Lestari, Eka, Iis atau Mpok….”
“Eh, kamu jangan goda Mpok loh, Wan!” hardik Syamsiah memotong.
Irwan jadi tertawa. Lalu katanya, “Enggak menggoda, Mpok. Faktanya Mpok kan lagi kosong, kalau memang Allah menentukan dengan Mpok, mau bilang apa saya? Maksud saya, siapa saja mungkin, tapi saya kan pasti pilih sesuai kriteria agama.”
“Kamu benar-benar menggoda Mpok!” rutuk Syamsiah yang hanya ditanggapi dengan tawa Irwan. Namun, Syamsiah bisa memahami maksud dari Irwan. “Lalu, bagaimana caranya supaya Lestari bisa kamu pilih?”
“Pertama, jelas saya harus pilih gadis yang salat. Kedua, jelas saya harus memilih yang berjilbab, selanjutnya dan selanjutnya, Mpok. Dua dulu deh yang utama. Kalau Mpok juga memenuhi dua kriteria awal saya, mungkin bisa saja saya melamar Mpok.”
“Irwan!” pekik Syamsiah merengut sambil memukul pelan bahu Irwan.
Irwan yang hampir tidak pernah bersentuhan dengan wanita non-muhrim, terdiam terkejut mendapat pukulan itu.
“Kamu benar-benar menggoda Mpok ya!” kata Syamsiah dengan mimik mengerenyit, meski di dalam hati wanita dewasa itu berlarian rasa sar sir sur oleh keterbukaan Irwan. Ia tidak menyangka jika Irwan karakternya blak-blakan.
“Mpok Syam!”
Eka yang ada beberapa puluh meter bersama gadis-gadis yang lain berteriak memanggil Syamsiah. Mereka tampak tertawa menyaksikan kelakukan Syamsiah terhadap Irwan. (RH)
Bersambung ….