Oleh: Rudi Hendrik
“Nir!” panggil Salimah sambil meringkuk memeluk bantal guling. Koyo antipusing menempel di jidat dan kedua pelipisnya. Rambutnya awut-awutan, kian memperkuat kondisinya menunjukkan bahwa ia sedang sakit. Selimut pun masih menutupi sebagian besar tubuhnya.
Sesosok gadis manis bertubuh cukup gemuk dan berjilbab kuning, muncul di ambang pintu kamar yang terbuka.
“Iya, Mak?” tanya gadis gemuk manis berhidung jambu itu.
“Emak punya utang sama Bang Damar, nanti dibayarin ya,” kata Salimah dengan suara yang berat.
“Nirmala mana kenal yang namanya Bang Damar itu yang mana, Mak,” kata si gadis agak merengut.
“Bang Damar itu yang rumahnya pas di depan gerbang sekolah. Rumahnya cat biru muda. Dia jualan es, pas seberangan tempat gerobak Emak mangkal,” jelas Salimah.
“Iya, Mak. Kalau Nirmala nyasar, Nirmala bisa tanya,” kata Nirmala, anak semata wayang Salimah.
“Jangan genit ya, pedagang lainnya lelaki semua,” kata Salimah.
“Ih, Emak. Kalau ada apa-apa, telepon Nirmala. Hp Emak sudah Nirmala isi pulsa tadi malam,” kata Nirmala.
“Iya, Emak tidak apa-apa. Cuma pusing berat,” kata Salimah.
“Nirmala berangkat dulu, Mak,” pamit Nirmala sambil masuk meraih tangan ibunya lalu menciumnya.
“Hati-hati, mobil motor suka ngebut,” pesan Salimah.
“Iya, Mak.”
Nirmala lalu berjalan ke luar meninggalkan sang ibu yang sedang sakit. Di depan rumah, sudah menunggu sebuah gerobak warna kuning lengkap dengan penggorengannya. Di bagian kaca transparannya tertulis kalimat “Tahu Bulat Manis Semanis Harganya Rp500”. Entah opini siapa yang dipakai bahwa 500 rupiah itu adalah harga yang manis?
Inilah pertama kalinya Nirmala menggantikan sang ibu untuk berdagang tahu bulat. Awalnya ia menolak, sebab berat baginya melakoni pekerjaan yang tidak biasa ia lakukan. Namun, ibunya dengan lembut mencoba meyakinkan putri tunggalnya.
Salimah mengatakan, jika berdagang tahu bulatnya libur sehari saja, itu berarti mereka tidak ada pemasukan uang di hari itu dan yang ada hanyalah pengeluaran. Kondisi itu juga berarti, utang keluarga mereka kepada beberapa orang harus libur diangsur. Alasan itulah yang akhirnya membuat Nirmala memaksakan diri untuk menggantikan ibunya berjualan di depan sekolah dasar di Gang Mawar.
Salimah sudah menjanda selama 12 tahun dan mengasuh seorang putri, yaitu Nirmala. Perjalanan hidupnya stagnan dengan roda ekonomi berjalan di jalanan berutang. Gali lubang tutup lubang sudah membudaya dalam hidupnya, demi tetap bisa bertahan di ibu kota Indonesia yang serba pakai uang.
Kondisi itu pun harus memaksa Nirmala berhenti sekolah di kelas 10. Akhirnya Nirmala menjadi gadis rumahan. Meski demikian, ia rajin membantu ibunya di rumah. Nirmala pun sama seperti gadis kebanyakan, yang di waktu luangnya sibuk dengan ponsel pintarnya untuk bersosmed ria, menulis diari, hingga sesekali kumpul dengan teman-temannya. Meski demikian, Salimah cukup ketat membatasi kebebasan putrinya dalam bergaul agar tidak kebablasan terjerumus kepada kondisi yang negatif. Untuk urusan berkomunikasi dengan teman pria, Nirmala diberikan batasan yang ketat. Sikap itu dilakukan karena belajar dari pengalaman yang telah Salimah alami. Sebab itulah, Nirmala tidak pernah terdengar berteleponan dengan teman pria, apalagi sampai tertawa-tawa genit tidak jelas urgensinya.
Di pagi yang belum disinari sang surya, Nirmala berjalan mendorong gerobaknya di pinggir jalan raya. Tampak kendaraan mobil dan sepeda motor berlesatan dengan kecepatan tinggi. Jalan Kapuk Raya memang memiliki rute lurus yang cukup panjang.
Setelah berjalan beberapa ratus meter bersama gerobaknya di pinggir jalan raya, Nirmala kemudian masuk ke sebuah gang cukup lebar dan terbuka. Itulah gang yang namanya “Mawar”. Di gang itu, Nirmala melalui sebuah penampungan air cukup luas yang di bagian tepiannya penuh ditumbuhi eceng gondok. Menurut cerita, 15 tahun yang lalu, tempat itu adalah area pemakaman. Tinggi tanahnya yang rendah membuat air di kawasan sekitar menggenang di sana, seiring pembangunan kawasan pergudangan dan tata saluran air yang tidak baik.
Di gang itu pula, berdiri sebuah vihara megah nan menjulang dengan warna khasnya, yaitu merah dan hijau dengan ukiran ular naga versi etnis Tionghoa.
Semakin mendekati ujung gang, semakin ramailah oleh berbagai aktivitas, meski matahari belum menunjukkan wujudnya di sisi timur jauh.
Anak-anak berseragam sekolah SD sudah ramai berdatangan ke sudut gang, tempat sebuah bangunan sekolah dasar negeri berdiri. Para orangtua yang mengantar anak-anak mereka pun turut meriah memenuhi pertigaan jalan di depan SD. Berbagai penjaja makanan anak-anak, mainan, hingga jajanan sekelas siomay dan bubur ayam pun mangkal di area pertigaan depan gerbang sekolah. Keramaian kian padat oleh aktivitas warga setempat yang berangkat kerja, baik berjalan kaki ataupun bersepeda motor. Ujung gang tersebut masih bisa dilalui sebuah mobil hingga ke halaman sekolah.
Nirmala terus mendorong gerobaknya memasuki kawasan keramaian di depan sekolah. Sebab tempat ibunya berpangkal bersama gerobaknya ada di area itu, meski ia belum tahu persis.
“Lho, Bu Salimah Tahu ke mana, Neng?” tanya seorang ibu yang sedang menata gorengannya di meja depan rumahnya.
Nirmala tidak kenal. Namun, pertanyaan itu jelas menunjukkan bahwa ibu itu mengenal ibunya.
“Sedang tidak sehat, Bu,” jawab Nirmala seraya tersenyum dan tetap mendorong gerobak tahu bulatnya.
“Anaknya ya?” tanya ibu itu lagi.
“Iya,” jawab Nirmala seraya tersenyum lagi. “Mari, Bu!”
“Oh, Salimah punya anak gadis? Cantik lagi!” kata ibu lain yang sedang memilih gorengan, ekspresinya setengah terkejut.
Komentar ibu pembeli gorengan yang masih terdengar oleh Nirmala, membuat gadis gemuk itu tersenyum berbunga di dalam hati. Bahkan kedua telinganya di balik jilbab sampai berubah warna jadi merah muda.
“Hihihi, Nirmala dinilai cantik,” kata Nirmala dalam hati dan sejenak tersenyum sendiri. Komentar yang dianggapnya pujian itu seketika menjadi pertamax di dalam dadanya, semangatnya untuk berjualan seolah terbakar.
Memang, seiring tibanya di ujung gang itu, kondisi berat di lokasi dagang yang sempat terbayang di benak Nirmala kini menghilang. Kondisi yang ia rasakan kini ternyata tidak seberat bayangannya.
“Assalamu ‘alaikum!” salam seseorang kepada Nirmala setengah berteriak.
Salam yang setengah berteriak dan bersumber dari sisi kanan, membuat Nirmala terkejut dan sontak berhenti berjalan. Ia langsung melihat ke sisi kanannya. Seorang lelaki berkumis berusia sekitar 40-an berjalan sambil memikul dagangan mainannya. Lelaki berkaos biru gelap dan bertopi hitam lusuh itu tertawa melihat keterkejutan Nirmala. Ia turut berhenti melihat Nirmala berhenti.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Nirmala telat, senyumnya samar kepada pria yang tidak dikenalnya itu. Ia hanya menduga bahwa pria itu kenalan ibunya sebagai sesama pedagang di depan SD.
“Kok bukan Bu Salimah?” tanya pria yang bernama Ganto Wirasakti yang nama bekennya adalah Jawir.
“Ibu sedang sakit,” jawab Nirmala seraya tersenyum dan kembali mendorong gerobaknya.
Ganto turut berjalan mengiringi Nirmala, sebab ia masih mau bertanya.
“Sakit apa?”
“Meriang. Mungkin kelelahan, Bang,” jawab Nirmala.
“Bang Jawir, nama Abang Bang Jawir,” kata Ganto sambil senyum-senyum menunjuk sendiri dadanya.
“Iya, Bang,” ucap Nirmala jadi tersenyum melihat gaya komunikasi Ganto.
“Namanya siapa?” tanya Ganto penuh semangat.
“Nirmala, Bang.”
“Wiiih, judul lagu Dato Siti Nurhaliza!” pekik Ganto lalu tertawa sendiri. Lalu tanyanya lagi, “Nirmala baru kali ini dagang di sini?”
“Iya.”
“Sudah tahu tempatnya?” lanjut Ganto.
“Sudah diberi tahu sama Emak.”
“Tempatnya pas di sebelah Abang. Hahaha, di sebelah hati Abang, hahaha!” kata Ganto berseloroh agak menggombal.
Nirmala hanya tertawa kecil.
Akhirnya mereka tiba di titik kumpul para pedagang dan keramaian di pertigaan gang depan gerbang SD. Tepat berseberangan dengan gerbang SD berdiri sebuah rumah bercat biru muda dua lantai. Luasnya hanya 4×6 meter. Dari warna catnya yang masih baru dan cemerlang, menjadi ciri bahwa itu bangunan baru. Namun, pintunya masuknya tidak menghadap ke gerbang SD, tetapi ke sisi lain jalan. Tembok sisi pintu sengaja dilubangi lebar yang berfungsi untuk berjualan. Rumah itu berjualan berbagai macam es air, es blender, hingga es batu.
Penjual es di rumah itu adalah seorang pemuda berkemeja kotak-kotak biru. Kepalanya baru habis cukur model botak tumbuh semilimeter. Di dahinya ada dua tanda hitam dari kulit yang mengeras sebagai tanda sering diciumkan ke lantai atau sajadah salat. Celana hitamnya terlihat mencolok, karena ujungnya menggantung di atas mata kaki. Ia terlihat sibuk tapi cekatan dalam melayani anak-anak yang tidak mengenal waktu untuk minum es. Pemuda itu bernama Darmawan Caniago, seorang pemuda Padang yang merantau ke Jakarta dan memupuk nasib di ujung gang itu.
“Nah, di sini tempat kamu, Nir. Abang Jawir di sini,” kata Ganto menunjuk tempat yang masih kosong, sementara dia menurunkan pikulannya di sisi tempat yang ditunjuknya. (RH)