Kumpulan Materi Kultum Persiapan Ramadhan

Kumpulan Materi Kultum Persiapan Ramadhan

Berikut adalah Kumpulan Materi Kultum Persiapan Ramadhan, semoga bermanfaat.

#1 Hubugan Al-Qur’an dan Akal

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Islam adalah agama yang sangat mendorong umatnya agar menggunakan hati dan akal fikirannya dalam memperhatikan ayat-ayat kekuasan Alah. Baik yang ada di alam semesta (al-aayaat al-kauniyah) maupun ayat-ayat kekuasaan Allah seperti yang terdapat didalam al-Qur’an, Sebagaimana firman Allah ta’ala:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad:24).

Dan firman Allah pula:

وَكَأَيِّن مِّن آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ

“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya” (QS.Yusuf:105).

Dari kedua ayat diatas tampaklah betapa dorongan Islam itu sangat kuat kepada ummatnya agar menggunaan hati dan kekuatan akal fikirannya dalam memperhatikan dua bentuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada pada alam ini (al-aayaat al-kauniyah) begitupula ayat-ayat al-Qur’an.  Allah ta’ala memerintahkan untuk memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan firmannya bahwa didalam al-Qur’an itu terdapat petunjuk bagi manusia muttaqin dalam menjalani kehidupannya. Sebagaimana Firman Allah:

ذٰلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“ Kitab itu tiada keraguan didalamnya, dan menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:2).

Petunjuk Allah yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bisa dirasakan dan dicerna oleh mereka yang memiliki akal fikiran dan terbukanya hati dan akal dalam memahami al-Qur’an adalah berkat rahmat dari Allah. Firman Allah : “ ar-Rahman, ‘allamal qur’an” Al-qur’an” yang artinya : “(Tuhan) Yang Maha Pemberi Rahmat, Yang telah mengajarkan Al Qur’an” (QS. Ar-Rahman:1-2).

Orang yang tidak mendapatkan rahmat dari Allah lebih percaya pada mitos atau petuah orang-orang tua padahal mereka tahu bahwa pendapat orang-orang tua mereka itu tidak berlandaskan pada logika yang benar, dan mereka juga sadar bahwa apa yang dilakukan para orang-orang tua mereka berseberangan dengan petunjuk dari Allah swt. Disebutkan dalam Firman Allah:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “padahal nenek moyang mereka itu tidak menggunakan akal lagi tidak mendapat petunjuk?” (QS.Al-Baqarah:170)

#2 Akal dan Nafsu

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah ta’ala :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. at-Tiin, 95:4)

Kepada manusia diberikan Allah beberapa kebaikan diantaranya adalah akal fikiran dan nafsu. Berbeda dengan malaikat yang diciptakan Allah tanpa memiliki nafsu. Namun demikian manusia tidak boleh membunuh nafsu tapi harus dikendalikan. Diantara ajaran agama yang membunuh nafsu adalah agama kristen. Biarawatinya tidak boleh menikah.

Dan dalam ajaran agama Budha, para biksu tidak boleh gagah. Kepalanya digunduli, tidak boleh memakai kemeja atau jas, dan hanya menggunakan kain yang diselempangi (dililit). Tidur tidak boleh di kasur-kasur empuk, dan hanya tidur diatas-atas paku.

Tidak demikian dengan Islam. Islam tidak membunuh nafsu melainkan menekankan pada para pemeluknya agar mengendalikan nafsu sehingga tidak liar atau sembrono. Manusia yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, adalah manusia yang memiliki martabat yang tinggi dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: “beruntunglah siapa yang menjadikan akalnya raja dan nafsunya budak, dan celakalah siapa yang menjadikan nafsunya raja dan akalnya budak”. (al-Hadits)

Manusia yang dapat menjadikan akalnya sebagai raja, dapat mengarahkan nafsunya sesuai keinginannya karena nafsunya adalah budak dan harus turut apa kata akal. Lain halnya kalau nafsunya sebagai budak dan nafsunya sebagai raja. Manakala nafsunya ingin ini itu akalnya tidak bisa mengatakan tidak, atau jangan. Dan nafsu itu tidak pernah cenderung pada keingin yang baik, akan tetapi selalu pada keinginan yang buruk dan jahat. Firman Allah: “inna an-nafsa la’ammaratun bis-su’i”. Sesungguhnya nafsu itu condong pada kejahatan.

Bahkan akal yang tidak bisa diperintahkan oleh nafsu adalah akalnya para Nabi-nabi, sahabat-sahabat dan ulama-ulama shalihin. Ketika akalnya memerintahkan untuk berpuasa, maka nafsunya ikut puasa, ingin bangun malam maka nafsunya tidak bisa lagi enak-enak tidur. Dan ketika akalnya ingin menjalankan sholat maka nafsunya segera memikirkan jalan menuju ketempat whudu’.

Nafsu yang dapat dikendalikan itu disebut nafsu al-mutmainnah yang bersemayam dihati para orang-orang shaleh dan para ulama serta para Nabi. Siapa saja yang mendapatkannya maka selamatlah seumur hidupnya dari segala perbuatan jahat dan mungkar.

#3 Al-Qur’an Adalah Pedoman Hidup

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Al-Qur’an adalah instruktur terbaik bagi setiap insan untuk mengarahkannya dalam melihat kebenaran dalam menjalani kehidupan. menjadi refrensi paling akurat untuk mengetahui prihal apa saja yang diciptakan Allah di langit dan di bumi.

Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai acuan maka akan nampak fakta  bahwa Allah itu Maha Hidup dan mengatur alam dan segala isinya dengan penuh rahmat dan kesempurnaan. Sebagaimana Allah ta’ala telah menjelaskan di dalam al-Qur’an:

إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّلْمُؤْمِنِينَ .وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِن دَابَّةٍ آيَاتٌ لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ .وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاء مِن رِّزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ .تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ .

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,  dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya; maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya”.

Terdapat makna yang cukup dalam pada ayat diatas bahwa terdapat banyak tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Baik di langit atau di bumi, pergantian siang dan malam, angin, hujan dengan berbagai manfaatnya untuk kehidupan manusia dan makhluk-makhuk hidup lainnya.

Dari apa yang diterangkan oleh al-Qur’an hanya dapat dimengerti oleh mereka yang dirahmati Allah dengan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Hidup ini harus punya pedoman agar kita mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam hidupnya. Kalau ia hidup hanya menggantungkan pada feeling dan apa yang ia rasa tanpa dasar maka ia akan rusak dan jauh dari kebenaran.

Seorang anak umur 2 tahun tentu kurang mengerti apa guna buku panduan handphone. Ia tidak menyadari bila ia memperlakukan handphone itu menurut seleranya ia bisa merusak handphone tersebut, sehingga kalau handphone itu kotor karena coklat misalnya, maka ia akan mencuci dengan air seperti ia mencuci mainannya, karena ia mengira seperti apa yang ia kira.

Maka oleh sebab itu tampak bahwa manusia harus dapat menangkap pesan-pesan al-Qur’an dan menyimpannya dalam hati sehingga ia mengetahui cara hidup yang benar. Yaitu hidup sesuai dengan kitab al-Qur’an dan bukan hidup sebagaimana kita pikirkan.

#4 Rahmat Allah Adalah Kebutuhan Paling Pokok Manusia

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Al-Qur’an itu diturunkan pada bulan Ramadhan yang suci. Firman Allah;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)” (QS. al-Baqarah : 158)

Kesucian bulan Ramadhan, menjadi sebab diturunkannya al-Qur’an dan kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat Zabur dan Injil. Dan hal itu menandakan suatu kondisi yang menggambarkan kesucian hati manusia pada saat diturunkannya al-Qur’an. Oleh sebab itu dapat kita katakan Ramadhan untuk al-Qur’an dan al-Qur’an untuk Ramadhan.

Maka jika ada pekerjaan yang paling penting dan diperioritaskan di dalam bulan Ramadhan, maka itu adalah al-Qur’an. Apakah dengan membacanya, menghayatinya, mendengarkan atau mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an.

Ketika pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’an semakin baik, maka kondisi mereka akan semakin baik, oleh sebab itu kita harus memohon curahan rahmat Allah agar dapat dimudahkan dalam mengerti dan merasakan isi al-Qur’an. Sebab tanpa rahmat Allah, mustahil manusia dapat mengerti pesan-pesan al-Qur’an.

Rahmat Allah adalah kebutuhan paling pokok manusia. Kalau ada kebutuhan yang paling kita butuhkan sebenarnya, bukanlah sandang atau pangan, akan tetapi rahmat Allah. Karena kalau tidak karena rahmat Allah manusia bisa lebih hina dari binatang. Karena dengan rahmat Allah manusia bisa memahami al-Qur’an dan memiliki pengetahuan, firman Allah:

الرَّحْمَنُ ,عَلَّمَ الْقُرْآنَ ,خَلَقَ الْإِنسَانَ ,عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur’an.  Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara”. (QS.ar-Rahman:1-4)

Al-Qur’an adalah kitab yang banyak manfaat didalamnya. Maka untuk dapat menggali manfaat yang besar maka perlu dibuka gembok-gembok yang mengunci hati manusia sehingga bisa mendalami al-Qur’an, sebab dalam al-Qur’an Alllah ta’ala berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad:24).

Diantara gembok-gembok yang mengunci hati untuk memahami al-Qur’an adalah:

  1. Membuang kecurigaan terhadap isi al-Qur’an, tidak seperti yang dilakukan oleh mereka yang mengkaji heurmatika al-Qur’an.
  2. Membuktikan kecintaan pada al-Qur’an dengan meluangkan waktu dan mengalokasikan harta dalam rangka mengkaji al-Qur’an.
  3. Selalu berharap curahan rahmat dari Allah dalam memahami al-Qur’an.
  4. Menginput (mencamkan) kedalam hati nilai-nilai yang diperoleh dari al-Qur’an dan selalu mengamalkannya agar tidak lupa.

#5 Kerja Dan Kaitannya Dengan Upaya Menghindari ‘Adzab

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Islam memiliki pandangan setara antara aktifitas dunia dan akhirat, sehingga dengan demikian ummat Islam tidak  selalu memikirkan persoalan aktifitasnya di dunia  saja, tetapi ia juga memiliki pemikiran untuk urusan di “sana” (keabadian).

Dalam surat shaf : 10 dan 11, Allah swt. berfirman: “ Hai orang –orang yang beriman maukah engkau Aku tunjukkan pada  perniagaan yang menyelematkan dirimimu dari siksaan (‘adzab) yang sangat pedih ?, yakni kamu beriman kepada Allah, berjihad dijalanNya dengan harta dan jiwa, hal itu lebih baik jika kamu mengetahui”.

Sangat jelas pernyataan Allah dalam ayat diatas, bahwa seorang beriman, dalam mengusahakan aktifitas keduniaannya harus memiliki semangat untuk menghindarkan diri dari ‘adzab, yakni dengan cara beriman kepada Allah dan RasulNya serta berjihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah.

Adzab diartikan sebagai suatu al-ija’al-sadid sangat menyakitkan. Bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menjadikan manusia menderita karenanya. Dalam perspektif islam adzab diartikan sebagai hukuman atau siksa Tuhan disebabkan perbuatan manusia, khususnya manusia yang menyimpang dari pola, aturan, atau nilai yang telah ditetapkan. Dalam al-Qur’an pengertian siksa Tuhan selain di ungkapkan dengan term ‘adzab, juga diungkapkan  dengan istilah lain yang mengandung makna siksa (al-Akhdz, al-intiqam, al-ilhaq, Tadmir, al-‘aqab, dll)

Sebagaimana sabda Rasulullah: “Tuhan akan memberikan masa yang  panjang bagi orang dzalim. Jika Dia  menyiksanya tidak akan segan-segan. Selanjutnya Rasulullah membaca ayat: “Dan begitulah siksa Tuhanmu jika dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang zhalim. Sesungguhnya adzabnya itu sangat pedih” (al-Hadis).

Al-Qurán menginformasikan bahwa akibat pelanggaran manusia terhadap ketentuan Tuhan, maka manusia akan memperoleh adzab di dunia. Adapun azab dunia bisa berupa banjir besar, kemarau panjang, badai, gempa, angin puting beliung, longsor, dan segala hal yang menyiksa diri manusia secara fisik seperti kekeringan dan kelaparan atupun tekanan batin seperti hilangnya ketenangan jiwa dan ketentraman batin. Demikian keterangan Ibnu Abbas sebagai dikutip oleh Ikrimah.

Selain adzab dunia, al-Qurán juga menginformasikan adanya adzab akhirat bagi para pelanggar ketentuan ketentuan Allah seperti adzab kubur, adzab neraka dan rasa penyesalan. Oleh sebab itu adzab baik adzab dunia dan akhirat harus dihindari, dan diantara upaya menghindari adzab tersebut menurut pandangan islam, masing-masing baik kelompok maupun individu harus melakukan upaya-upaya meliputi :

  1. Ada keseriusan setiap orang yang beriman untuk senantiasa melakukan jihad. Jihad dalam artian upaya sungguh-sungguh untuk menghindarkan diri dari adzab yang pedih dalam menjalankan aktifitas.
  2. Upaya yang serius dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dari segenap anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, langsung atau tidak langsung.
  3. Selain itu al-Qurán juga mensyaratkan taubat sebagai bagian dari upaya menghindarkan diri dari adzab Tuhan, baik yang bersifat keduniaan, maupun yang bersifat keakhiratan.

Dari kajian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kesadaran terhadap adzab dan upaya untuk menghindarkannya merupakan bagian dari kekuatan kontrol personal, agar seorang yang beriman tetap menetapi petunjuk Tuhan dalam kehidupannya.

#6 Keutamaan Menjaga Lidah

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Canda dalam kehidupan adalah penyedap. Hidup tanpa canda bagaikan masakan tanpa garam. Suatu kali Imam Al Ghazali melontarkan 6 pertanyaan kepada murid-muridnya yang hadir dalam majelis ta’limnya. Salah satunya adalah: Benda apa yang paling tajam di dunia ini?. Beragam jawaban muncul dari murid-murid beliau. Pisau, silet, sampai pedang. Imam Al Ghazali menanggapi jawaban murid-muridnya tersebut. “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tapi ada yang lebih tajam dari itu semua. Yaitu LIDAH”.

Meskipun lidah tidak bertulang, namun memang lidah bisa lebih tajam dari apapun, karena dia bisa ‘merobek’ hati. Bahkan kadang lidah bisa membuat lubang menganga di hati lawan bicara yang mungkin perlu waktu lama untuk mengembalikannya ke kondisi semula.

Canda yang berlebihan dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki. Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Maka ada beberapa etika bercanda supaya tidak menimbulkan luka hati atau ketersinggungan orang lain, yakni:

  1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)
  2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa, seperti sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
  3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain, kecuali yang bersangkutan mengizinkannya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
  4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang muslim. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-thabrani) “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
  5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis,
  6. Tidak berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal, meskipun dalam urusan ibadah sekalipun. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.). “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).

#7 Humor dan Canda Rasulullah SAW

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Beberapa riwayat humor dan canda Rasulullah saw.:

Seseorang sahabat mendatangi Rasulullah SAw, dan dia meminta agar Rasulullah SAW membantunya mencari unta untuk memindahkan barang-barangnya. Rasulullah berkata: “Kalau begitu kamu pindahkan barang-barangmu itu ke anak unta di seberang sana”. Sahabat bingung bagaimana mungkin seekor anak unta dapat memikul beban yang berat. “Ya Rasulullah, apakah tidak ada unta dewasa yang sekiranya sanggup memikul barang-barang ku ini?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas dia adalah anak unta. Tidak mungkin seekor anak unta lahir dari ibu selain unta” Sahabat tersenyum dan dia-pun mengerti canda Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi. Sanad sahih)

Seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya, begitu juga Zahir. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah, “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”. Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke pasar, dia melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. Zahir: “Heii……siapa ini?? lepaskan aku!!!”, Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir-pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini??” Zahir: “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” Rasulullah: “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai di pelukan Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad dari Anas ra)

Aisyah RA berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, saat itu tubuhku masih ramping. Beliau lalu berkata kepada para sahabat beliau, ”Silakan kalian berjalan duluan!” Para sahabat pun berjalan duluan semua, kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Aku pun menyambut ajakan beliau dan ternyata aku dapat mendahului beliau dalam berlari. Beberapa waktu setelah kejadian itu dalam sebuah riwayat disebutkan:”Beliau lama tidak mengajakku bepergian sampai tubuhku gemuk dan aku lupa akan kejadian itu.”-suatu ketika aku bepergian lagi bersama beliau. Beliau pun berkata kepada para sahabatnya. “Silakan kalian berjalan duluan.” Para sahabat pun kemudian berjalan lebih dulu. kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Saat itu aku sudah lupa terhadap kemenanganku pada waktu yang lalu dan kini badanku sudah gemuk. Aku berkata, “Bagaimana aku dapat mendahului engkau, wahai Rasulullah, sedangkan keadaanku seperti ini?” Beliau berkata, “Marilah kita mulai.” Aku pun melayani ajakan berlomba dan ternyata beliau mendahului aku. Beliau tertawa seraya berkata, ” Ini untuk menebus kekalahanku dalam lomba yang dulu.” (HR Ahmad dan Abi Dawud)

Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada ‘Asiyah, “Aku tahu saat kamu senang kepadaku dan saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Dari mana engkau mengetahuinya?” Beliau menjawab, ” Kalau engkau sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu “Tidak demi Tuhan Muhammad” Akan tetapi jika engkau sedang marah, engkau akan bersumpah, “Tidak demi Tuhan Ibrahim!”. Aisyah pun menjawab, “Benar, tapi demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan meninggalkan, kecuali namamu saja” (HR Bukhari dan Muslim).

#8 Jihad  Mempertahankan Agama Allah dan Mencapai Ridha Allah

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Istilah jihad (berasal dari kata juhd dan jahd) berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelemahan. Kata ini terulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qur’an. Pengertian kata jihad disini menggambarkan bahwa dalam melakukan jihad dibutuhkan kekuatan, baik fisik, ekonomi, psikologi, dan diplomasi politik. Dalam Al-Qur’an istilah jihad seringkali berhadapan dengan resiko kesulitan dan kelelahan dalam pelaksanaannya. Untuk itulah maka jihad dapat diartikan sebagai perjuangan secara sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam melawan musuh atau dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keluhuran.

Pada satu sisi jihad bisa berarti berjihad dalam rangka berperang melawan musuh-musuh Islam, termasuk di dalamnya perang fisik mengangkat senjata menghadapi musuh-musuh Islam. Untuk pengertian ini kita dianjurkan untuk mempersiapkan diri, di antaranya petunjuk Nabi agar kita mengajari anak-anak kita agar pandai memanah. Namun pada sebagian ayat yang menggunakan kata jihad bukan berarti perang. Seperti QS. al-Ankabut : 6 dan 69,  serta QS. 25/al-Furqan : 52. Yang termasuk  ayat-ayat Makkiyah (turun di Makkah).  Rasulullah ketika di Mekkah tidak pernah melakukan kontak senjata dengan orang-orang kafir. Bahkan ketika orang-orang musyrik mengadakan tekanan dan penyiksaan terhadap orang Islam, umat Islam di bawah pimpinan Nabi tidak membalas mereka dengan senjata. Nabi berucap : “bersabarlah kalian, karena aku belum mendapat perintah untuk berperang”.

Dengan demikian jelaslah bahwa ayat-ayat tentang jihad tidak dapat dipahami maknanya hanya dengan melakukan perang (angkat senjata).  Berdasarkan keterangan dari ayat Al-Qur’an justru semakin banyak bertambahnya penduduk yang menganut Islam pada zaman Nabi, karena kelompok kaum muslimin membalas mereka dengan penjelasan ajaran-ajaran Al-Qur’an secara rasional dan prikemanusiaan. Abdul Rahman al-Mabarkafuri mengetengahkan berbagai penafsiran berkaitan dengan kata fi sabilillah yang sering mengiringi kata jihad. Sebagai ulama memahaminya sebagai ketaatan kepada Allah (tha’at Allah) dan mengharap ridha Allah (ibtigha’a mardhatillah) , dan sebagian lagi menyebutkan sebagai berperang memperjuangkan agama Allah (li i’lai kalimatillah ).

Dari kajian mengenai muatan kata jihad dalam Al-Qur’an di atas, dapat kita lihat bahwa yang paling pokok dari makna jihad itu adalah perjuangan secara sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk: mempertahankan agama Allah dan mencapai ridha Allah.

Tegaknya agama Allah maksudnya adalah tegaknya kebenaran ajaran Islam meliputi nilai-nilai Islam dalam berekonomi, berpolitik, ilmu dan berbudaya. Maka menjaga kelestarian nilai-nilai itu adalah bagian yang tidak kalah pentingnya dari peperangan menyebarkan Islam yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Dalam tataran ini, maka kesungguhan kerja keras serta terencana untuk memberdayakan umat adalah juga jihad sebab dengan keberdayaanlah ajaran Allah dapat ditegakkan.  Dengan demikian upaya kita secara sungguh-sungguh menangani tugas-tugas kita, apapun profesi kita. Firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya” (QS.As-Shaf:10-11)

#9 Nabi Muhammad saw Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah dalam penelitian Michael H. Hart, jatuh pada Nabi Muhammad saw. Fakta ini mengejutkan seluruh penduduk dunia sebab dialah (Nabi Muhammad) satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.

Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar.

Nabi Muhammad lahir pada tahun 570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi yatim-piatu di umur enam tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana dan rendah hati.

Sumber-sumber Islam menyebutkan bahwa Muhamnmad seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai membaik di umur dua puluh lima tahun tatkala dia kawin dengan seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati umur empat puluh tahun nyaris tak tampak petunjuk keluarbiasaannya sebagai manusia.

Umumnya, bangsa Arab saat itu tak memeluk agama tertentu kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Agama Yahudi dan Nasrani, dan besar kemungkinan dari merekalah Muhammad untuk pertama kali mendengar perihal adanya satu Tuhan Yang Mahakuasa, yang mengatur seantero alam.

Tatkala dia berusia empatpuluh tahun, Muhammad yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa ini menyampaikan sesuatu kepadanya dan memilihnya untuk jadi penyebar kepercayaan yang benar. Selama tiga tahun Muhammad hanya menyebar agama terbatas pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki tahun 613 dia mulai tampil di depan publik. Begitu dia sedikit demi sedikit punya pengikut, penguasa Mekkah memandangnya sebagai orang berbahaya, pembikin onar.

Di tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke Madinah, kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan. Peristiwa hijrah ini merupakan titik balik penting bagi kehidupan Nabi.

Di Mekkah dia susah memperoleh sejumlah kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya makin bertambah sehingga dalam tempo cepat dia dapat memperoleh pengaruh yang menjadikannya seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut Muhammad bertumbuhan bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Mekkah dan Madinah.

Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali ke Mekkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya dia menyaksikan kemajuan luar-biasa dalam hal cepatnya suku-suku Arab memeluk Agama Islam. Dan tatkala Muhammad wafat tahun 632, dia sudah memastikan dirinya selaku penguasa efektif seantero Jazirah Arabia bagian selatan.

#10 Menghidupkan Semangat Jihad Dalam Perusahaan

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Jihad adalah istilah Islam yang memiliki makna beragam. Selain bermakna asli yang cukup beragam dan luas, kata jihad juga telah dipakai berbagai kelompok Islam sepert pada zaman Nabi dan para Sahabat sebagai bentuk perlawanan mati-matian terhadap musuh yang mengancam agama  Islam dan umatnya.

Sedemikian tegas dan kerasnya perlawanan yang diberikan umat Islam (atas dorongan ajaran ini) sehingga banyak orang  yang mengartikan jihad sebagai bentuk pengerahan massa, perlawanan sekelompok orang Islam secara emosional. Padahal artinya tidak hanya terbatas pada sikap perlawanan fisik terhadap mereka yang benci kepada Islam, atau hidup dalam rangka menegakkan semangat keislaman.

Ciri-ciri muslim yang berstatus karyawan yang memimiliki semangat jihad :

  1. Memiliki semangat pengabdian kepada Allah:

Ali bin Abi Thalib adalah cermin tauladan bagi para karyawan muslim. Meskipun posisi Ali sebagai ilmuwan terpandang, sebenarnya ia pernah menjadi karyawan seorang wanita Yahudi dengan bekerja sebagai penimba air. Sebagai karyawan upahnya bukanlah dirham tetapi segenggam kurma. Namun pekerjaannya tetap dilaksanakan dengan penuh pengabdian. Fakta ini jelas sebagai bukti sejarah yang menunjukkan betapa pentingnya semangat pengabdian dalam menjalankan tugas-tugas sebagai seorang karyawan muslim.

  1. Memiliki sikap istiqamah dalam bekerja:

Karyawan dalam pandangan Al-Qur’an hendaklah memiliki sikap istiqamah dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya dari atasannya. Artinya ia tidak gampang goyah dalam melaksanakan tugas meskipun kadangkala ujian hidup atau problem rumah tangga bisa membuatnya gelap mata dan melenceng dari aturan Allah dan melanggar amanah yang diberikan kepadanya. Ujian hidup merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari oleh siapapun sebab Allah SWT dalam  QS. 2/al-Baqarah : 155 berfirman: “Kami akan mencoba kamu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang sabar “. Sikap istiqamah merupakan ciri-ciri seorang karyawan yang memiliki semangat jihad yang tinggi.

  1. Berusaha Menegakkan agama Allah dalam kerjanya:

Yakni menjalankan dan mengamalkan sistem yang ditetapkan oleh Islam dalam kerjannya, seperti bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran dengan keyakinan bahwa dengan menjalankan tugas secara demikian, akan membuka jalan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT dalam setiap usahanya.

  1. Berupaya Mencapai ridha ilahi:

Yakni apa-apa tugas yang dilaksanakannya dilandasi oleh semangat pengabdian kepada Allah. Jadi bukan sekedar bekerja agar mendapat penghargaan dari manusia atau perhatian khusus dari pimpinan ataupun atasan, melainkan dimaksudkan untuk meraih keridhaan Allah sebagai puncak tertinggi dari segala harapan manusia. Dengan dilandasi upaya meraih ridha ilahi membuat seseorang memiliki daya tahan yang tinggi terhadap berbagai tantangan yang ia hadapi dalam pengelolaan tugas-tugasnya.

#11 Kasih Sayang Mendorong Kreatifitas

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Kalimat basmalah (bismillahirahmanirrahim), yang dalam penempatannya terdapat pada setiap awal surah dalam Al-Qur’an menjadi simbol kasih sayang Tuhan, dan sekaligus menggambarkan betapa Islam sangat menekankan pentingnya kasih sayang untuk dipraktekkan dalam kehidupan.

Begitupula dengan Istilah “Silaturahmi”, adalah kumpulan dua buah kata yakni shilat dan rahim. Shilat artinya menyambung yang terputus dan menghimpun yang terpecah. Sementara rahim berarti kandungan, dan ini erat kaitannya dengan kasih sayang.

Kasih sayang amat penting dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, begitupula dalam melaksanakan tugas-tugas di tempat kerja. Sedemikian pentingnya penegakan kasih sayang dalam kehidupan, maka banyak sekali petunjuk Islam yang mengisyaratkan tentang hal ini, bahkan Hubungan manusia dengan Tuhannya selalu dikemas dalam konteks kasih sayang, seperti dalam S.5/al-Maidah:54 :

فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” 

Allah mencintai manusia yang gemar melakukan kebaikan, misalnya suka bersedeqah, seperti terlihat dalam kalimat:  “wa Allah yuhibbu al-muhsinin”,  begitupula mereka yang menjaga kesucian dirinya seperti tergambar dalam kalimat “ innallah yuhibbu al-attawwabin, wa ÿuhibbul mutatahhirin“ : “sesungguhnya Allah mencintai mereka yang suka bertaubat dan mensucikan diri”.

Adapun hadits Rasulullah saw. Juga ada yang menggambarkan kasih sayang Allah seperti terdapat dalam sebuah hadis : “Manusia terbaik adalah yang paling taqwa kepada Allah, paling giat melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan paling suka menegakkan kasih sayang (al-hadis).

Rasulullah bahkan tidak mau mengakui seseorang sebagai ummatnya jika didalam hati seseorang itu tidak terdapat rasa kasih syang. Sabda beliau: “Bukanlah termasuk ummatku orang yang tidak dapat menyayangi yang lebih muda dan mengakui kemuliaan orang yang lebih tua” (HR.Abu Dawud dan Turmudzi).

Dunia juga mengakui, melalui WHO badan PBB yang mengurusi masalah kesehatan, menyebutkan bahwa salah satu kriteria orang yang bermental sehat adalah mereka yang mempunyai kasih sayang yang besar.

Kasih sayang antar manusia dilakukan dengan saling menjaga persamaan dan membuang jauh setiap perbedaan. Baik perbedaan suku, golongan dan ras. Menyatukan pemikiran, menyatukan gerakan, dan menyatukan hati dan perasaan, sehingga tumbuh kebersamaan dan melahirkan kekuatan kelompok, sebab masing-masing merasa mendapat dukungan dan dorongan dari yang lain.

Rasulullah saw. mengingatkan bahwa orang yang beriman adalah bagai bangunan dan atau bagai tubuh yang satu. Sehingga dalam suatu perusahaan terdapat kasih sayang maka muncullah nilai kasih sayang antara  pimpinan dengan yang dipimpin, antara sesama karyawan, tua dan muda, antara karyawan dengan keluarga karyawan dan kasih sayang insan perusahaan dengan masyarakat. Dengan Kasih sayang itu merupakan jalan bagi diperolehnya kasih sayang Allah dalam bentuk pemberian rezeki dan keberuntungan.

#12 Filsafat Proses Dan Gerakan Dalam Islam

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Salah satu aspek yang paling mengesankan dalam ajaran Islam adalah penekanannya pada pentingnya dinamika dalam kehidupan manusia. Terdapat sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan pentingnya dinamika tersebut. Di antaranya :

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya sendiri” (Q.S. al-Ra’du : 11).

Dalam suatu hadis Rasulullah bersabda : “Berbuatlah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu hidup selama-lamanya, dan berbuatlah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kami akan mati besok hari” (al-Hadis).

Ayat dan hadis di atas, menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya sikap dinamis bagi setiap orang yang beriman, yakni sikap yang selalu bergerak menuju kebaikan dan keutamaan.

Islam membentangkan jalan yang lurus dan harus ditempuh dan diikuti manusia dalam menjalani kehidupan agar sampai pada kebahagiaan hidup, dunia dan akhirat. Islam sangat menekankan prinsip gerak dan dinamis untuk mendapatkan predikat kemulian dalam Islam.

Seorang dikatakan Mukmin, bila iman dan percaya kepada Allah dalam hati dan dibuktikan dengan sikap dan prilaku aktif dan menjalankan proses kehidupan benar secara terus menerus. Seorang dikatakan Muttaqin, bila ia melakukan proses pensucian dengan cara menaati Allah dan rasul-Nya di setiap aktifitas hidupnya dan meninggalkan larangannya. Seorang dikatakan Muslim, bila terus – menerus menjalani proses keislaman yang dimulai dengan mengucap dua kalimat syahadat, kemudian ibadah, baik ibadah ‘ain (fardu) dan kemudian melakukan ibadah – ibadah sosial.

Bahkan dalam ibadah islam umpamanya shalat dan haji, kaya dengan makna gerakan dan dinamika. Kalau dalam ibadah haji umpamanya ditemukan gerakan-gerakan berikut: menetap (Wukuf ), lalu berpulang dan pergi (sa’i) antara Safa dan Marwah. Gerakan menepati sasaran (Melempar jumrah ). Dan gerakan orbital (Thawaf )sekeliling ka’ah.

Sedangakan dalam shalat ditemukan gerakan-gerakan seperti takbir, Ruku’, Sujud, Dll. Kesemuanya gerakan ini mempunyai makna proses yang seyogianya dihayati sebagai lambang dari penekanan agama ini pada dinamika (pergerakan) penganutnya dalam menyongsong kehidupan yang lebih baik seperti melakukan sifat-sifat yang terpuji  diantaranya: bersikap jujur, amanah, menjaga fithrah (kesucian lahir dan bathin), mengendalikan hawa nafsunya, dan menjaga keseimbangan material dan spiritual.

#13 Visi Hidup Seorang Muslim

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Dalam setiap khutbah jum’at sang khatib sering menghimbau untuk meningkatkan taqwa kepada Allah. Tentunya dengan memelihara diri dari perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama Allah agar terhindar dari azab, sebagaimana firman Allah yang artinya : “Peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi) hari, yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (Al-Baqarah: 281).

Disamping memelihara diri dari perbuatan menyimpang dari aturan Allah, juga harus diiringi dengan sikap agar tidak lalai dari mengingat Allah meski berhadapan dengan berbagai kesibukan, sebagaimana Firman Allah : “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan salat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (An-Nur: 37).

Setiap mukmin yang mengharap kesuksesan, hendaknya dapat memadukan antara kegiatan berusaha dengan ketaatan kepada Allah, agar usahanya mendapat jaminan balasan tidak hanya di akhirat berupa terhindar dari siksa api neraka, melainkan juga balasan di dunia, berupa rizqi yang tidak terbatas, sebabagaimana firman Allah :

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ

“(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.  (QS. An-Nur:38)

Dunia telah diciptakan Allah sebagai suatu tempat untuk mengumpulkan bekal menuju kampung Akhirat. Dalam mengisi kehidupan hendaklah manusia bekerja secara shaleh.

Bekerja secara shaleh artinya melaksanakan pekerjaan secara profesional dan sungguh-sungguh, sesuai dengan tata aturan, tidak membabi buta, tidak serampangan dan sesuai prosedur yang ditetapkan. Bahkan untuk bisa meraih sukses, manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk berkreasi, berinofasi dan mencari peluang-peluang baru untuk kebahagiaan dunianya. Sebab Allah menghargai setiap aktifitas manusia yang dilakukan secara kreatif sebagaimana FirmanNya: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia akan dirugikan” (QS.Hud:15)

Namun demikian seorang muslim jangan sampai melupakan akhlak atau budi pekerti sebagai hamba Allah dalam aktifitas usahanya, seperti mengembangkan sikap amanah, baik amanah dalam menjalankan kepercayaan yang diberikan, atau amanah dalam pengertian sikap jujur dalam menjalankan pekerjaannya.

Ketika kesuksesan telah diraih ia bersedia untuk berinfaq, zakat dan shadaqah sebagai sikap Tawadhu’ (Rendah Hati) menghilangkan kesombongan serta kesyukuran dengan membantu orang lain.

#14 Kerja Sebagai Tasbih

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Tasbih” adalah salah satu istilah yang sangat populer dalam Islam. Namun makna “Tasbih” seringkali dipahami oleh sebagian penganutnya dengan makna yang passif, padahal “Tasbih” bermakna aktif dan progresif yang dapat memberikan kontribusi pada kemajuan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam.

Tasbih berasal dari kata sabbaha, yusabbihu, artinya menjauh. Ini mengandung pengertian bahwa ada posisi asal, kemudian dari posisi asal itu bergerak menjauh menuju posisi yang lebih jauh. Berenang dalam bahasa Arab disebut “yasbah”, karena dilakukan dengan menggerak-gerakkan tangannya agar bisa berpindah posisi dari posisi awal menuju posisi yang baru. Sehingga Allah dalam surat al-anbiya ayat 33 dan surat al-Muzammil ayat 1. mengatakan agar manusia bertasbih dalam arti bergerak dari psosisi yang jauh dari tuhan menjadi dekat. Bisa dengan menggerakkan dan mengerahkan segala kekuatan yang ada melalui aktifitas yang baik atau meninggalkan kemalasan dan sikap berpangku tangan seperti diisyaratkan dalam beberapa firman Allah, seperti di surat Ali Imran ayat 41, surat al-Hijr ayat 98 dan surat al-Waqi’ah ayat 74.

Setiap orang berbuat baik maka ia pada hakekatnya menggeser posisinya ke titik paling dekat kepada Allah, dan sebaliknya ketika seseorang melakukan perbuatan yang salah, termasuk dalam melaksanakan tugas-tugasnya, berarti ia telah menjauh dari Allah. Jadi tasbih dimaksudkan sebagai upaya-upaya yang menggeser posisinya dari satu tempat yang jauh dari Allah kepada satu situasi atau posisi dekat pada Allah.

Termasuk aktifitas yang bisa menggeser posisi seseorang baik dari jauh kepada Allah menjadi dekat, adalah dalam hal kerja. Dari kondisi menganggur menjadi mencari penghasilan, atau dari posisi menunggu rezeki menjadi pencari rezeki, dari kerja yang rendah kualitasnya menjadi sangat berkualitas dan seterusnya.

Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa alam pun bertasih kepada Tuhan, di antaranya surat al-Ra’d ayat 13 :

وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ

“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah”.

Ini menunjukkan bahwa makna tasbih itu tidak semata-mata dengan menyebut kalimat tasbih (subhanallah, dan lain-lain). Akan tetapi tasbih juga dilakukan dengan tindakan atau perbuatan alam seperti bergemuruh.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kata-kata tasbih dalam Al-Qur’an memiliki makna yang dalam, sehingga terdapat dua konotasi: tasbih bi al-qawl (tasbih dengan kata-kata), dan tasbih bi al-afi’l (tasbih dengan aktifitas) agar membangkitkan sikap dinamis  pada diri dan kehidupan manusia.

#15 Puasa Menguatkan Hubungan dengan Allah

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Puasa merupakan upaya penguatan tali hubungan dengan Allah (hablumninallah), yang diperoleh melalui pengasahan hati nurani, dan kasih sayang sesama manusia. Karena dalam puasa kita diajarkan agar melakukannya dengan tulus dan tidak dibuat-buat, sehingga akan melahirkan keyakinan yang kuat pada Allah yang Maha mengetahui ibadah puasa yang kita jalankan.

Kesadaran seperti itu secara otomatis akan mempererat hubungan dengan Allah sehingga Allah swt memperhatikan kesulitan para hambaNya, dan dan memberikan jalan keluar di balik kesulitan mereka. Sebagaimana firman Allah SWT. : “Sesungguhnya di balik kesulitan ada jalan keluar, dan dibalik kesulitan ada jalan keluar. Jika kamu selesai mengerjakan suatu pekerjaan, tanganilah pekerjaan lain secara sungguh-sungguh”. (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa kesadaran hati nurani yang tumbuh pada diri seseorang membuatnya yakin bahwa Allah ta’ala senantiasa menolong atas setiap kesulitan. Oleh karenya tidak pantas bagi manusia itu mengeluh atas pekerjaan walau berat sekalipun, kalau ia yakin akan adanya pertolongan Allah.

Puasa adalah latihan yang dapat melahirkan etos kerja dan keikhlasan. Oleh sebab itu kesadaran dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah tersebut perlu ditanamkan sehingga menumbuhkan keyakinan yang kuat pada Allah yang senantiasa menolong hambaNya.

Puasa yang sungguh-sungguh memungkinkan bagi diperolehnya keberkahan yang merupakan kebaikan dari Allah bagi umat manusia yang disayangiNya. Yakni mereka yang memiliki kesadaran spiritual yang tinggi dalam menjalankan puasa dan rangkaian ibadah yang disukai Allah dalam bulan puasa.

Puasa dapat membentuk hati nurani yang kuat dan kokoh, sehingga terbentuklah iklim sosial yang penuh kebersamaan dalam sebuah masyarakat. Dengan kebersamaan itu semua komponen masyarakat tumbuh rasa memilikinya dan masing-masing merasa perlu mengambil peran strategis dalam pembangunan. Rasulullah saw. menggambarkan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa adalah apabila setiap komponen bangsa mengambil peran dalam pembangunan bangsa. Diantaranya adalah: Para penguasa yang merasa terpanggil untuk memimpin masyarakat dengan adil, para pedagang dan pengusaha yang menjalankan bisnisnya dengan jujur, para ulama dan kaum cendikiawan memberikan ilmunya dengan ikhlas, dan kaum dhuafa’ selalu berdo’a untuk pemimpinnya dan kemajuan bangsanya.

#16 Pengendalian Diri Dam Kesuksesan Kerja

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Pengendalian diri (Self control=Ihsan) merupakan faktor penting dalam kesuksesan seseorang menangani pekerjaannya. Paling tidak ada tiga alasan mengapa pengendalian diri sangat berperan dalam kesuksesan dalam menangani pekerjaannya.

Pertama, manusia mempunyai kecenderungan negatif dan positif dalam dirinya. Sementara itu setan (iblis) selalu melakukan berbagai upaya agar seseorang lebih didominasi oleh kecenderungan negatif dalam dirinya sehingga berbuat kesalahan dan dosa.

Kedua, penetapan seseorang untuk menempati suatu job (tugas- jabatan) biasanya didahului dengan studi kelayakan dan pertimbangan, yang menyimpulkan bahwa orang tersebut memiliki kekayaan untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, jika terjadi hambatan, kekurangan atau kegagalan, maka dimungkinkan karena ketidakmampuan yang bersangkutan mengendalikan dirinya.

Ketiga, Sebagian besar kegagalan manusia menjalankan tugasnya diakibatkan oleh ketidakmampuannya mengendalikan dirinya, yang biasanya ditandai dengan sifat-sifat yang menonjol pada dirinya, antara lain :

  1. Cenderung menunda realisasi pekerjaan dan mengakhirkan sesuatu yang semestinya didahulukan sehingga membuatnya kehilangan prioritas dan tahapan pekerjaan.
  2. Sering ragu-ragu dan goyah ketika hendak melakukan pekerjaan, karena khawatir akan gagal melakukannya, sifat akibat ketidakmampuannya untuk mengambil keputusan dan tidak serius dan cermat menjalankan pekerjaannya.
  3. Sering tidak bisa konsentrasi pada pelaksanaan kerjanya, karena tidak yakin bahwa melalui pekerjaan yang sedang ditanganinya sebenarnya ia bisa lebih sukses.
  4. Membebani diri dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya sehingga ia mudah kalut, panik dan hilang keseimbangan.
  5. Sering dilanda kejenuhan, karena tidak disiplin dengan pekerjaan utamanya sehingga produktifitasnya menurun.
  6. Selalu tergesa-gesa, seringkali berkeluh kesah dan putus asa.

Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kemampuan mengendalikan diri itu antara lain :

  1. Memberdayakan spiritual melalui latihan-latihan (spiritual) seperti puasa.
  2. Tidurlah yang cukup dan tidakberlebih-lebihan, dan sebelum tidur berwudhu dulu.
  3. Ketepatan waktu melakukan Shalat Shubuh, karena disamping dapat mencerahkan spiritual manusia, waktu subuh sangat dekat dengan aktifitasnya di siang hari.
  4. Berdzikir dalam setiap aktifitas dengan menjalankan perintah Tuhan dalam kerjanya. Sebab dzikir akan dapat mencerahkan qalbu manusia.
  5. Memenej kehidupan dengan mengandaikan bahwa setan selalu berada pada sisi kiri dari aktifitas dan prilaku sehari-hari sehingga muncul kewaspadaan untuk selalu taat Tuhan.
  6. Ketika keluar rumah mulailah dengan do’a keluar rumah dan do’a naik kendaraan jika Anda naik kendaraan untuk pergi ke tempat kerja.
  7. Menunjukkan keramahan sebab Islam adalah agama yang ramah.
  8. Tidak menunda pekerjaan
  9. Sepulang ke rumah, ciptakanlah suasana islami dan hargailah siapa saja di antara anggota keluarga, termasuk teman yang sukses pada hari tersebut, kendati hanya dengan perkataan.
  10. Berisitirahat dengan niat untuk mengumpulkan tenaga agar bisa berbuat lebih banyak sebagai khalifah Allah.

#17 Membangun Budaya Kebangkitan

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Sebagai dorongan (spirit) bagi kebangkitan Islam di masa depan, kiranya sangat bermakna kalau dikedepankan lebih dahulu ilustrasi kebangkitan yang pernah dikemukakan oleh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Menurutnya :

Setiap kebangkitan dan keunggulan, termasuk keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya diperuntukkan Tuhan bagi orang yang beriman selaku khaira ummah (sebaik-baik ummat manusia), firman Allah  swt. :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS. 3/Ali ‘Imran:110).

Akan tetapi saat tertentu keunggulan itu diberikan ke tangan orang lain, karena orang yang beriman tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai umat terbaik.

Jalan pikiran itu didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa umat Islam memang pernah unggul dan memimpin dinamika peradaban umat manusia, khususnya pada zaman keemasan (abad 8 sampai abad ke 13 M).

Para pemerhati sejarah dan pemikiran Islam telah melakukan penelitian mengenai faktor penyebab keunggulan umat Islam zaman keemasan tersebut  yang secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keyakinan mereka terhadap Islam sebagai jalan kebenaran dan faktor utama penyebab keunggulan.

Keyakinan mereka bahwa pencarian ilmu pengetahuan dan keahlian merupakan bagian yang integral dan tak terpisahkan dari ajaran Islam. Bahkan pesan ilmu dan keahlian tersebut memiliki “akar tunggal” dalam keseluruhan missi para Nabi.

Komitmen pada peningkatan kemampuan ekonomi umat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam. Sebab penyebaran (dakwah) dan bahkan pengamalan ajaran Islam itu tidak pernah terlepas dari persoalan ekonomi dalam arti yang luas.

Keyakinan dari segenap umat Islam bahwa bekerja secara baik, sungguh, dan shaleh, sesuai dengan tugas dan profesinya merupakan bagian yang integral dari ajaran Islam itu. Keyakinan ini memunculkan etos kerja yang tinggi di kalangan umat Islam.

Didorong oleh perasaan bahwa kepemimpinan dunia sesungguhnya berada di tangan umat Islam (khalifah, khaira ummah, dan pemakmur bumi), maka mereka senantiasa bersikap lapang dada dan toleran (tasamuh) terhadap komunitas lain. Sementara sikap toleran ini juga dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam.

Kecemerlangan mereka dalam mengamalkan Islam menurut versi yang lebih dinamis menyebabkan atau sekaligus didorong oleh pemahaman Islam yang rasional, yang tidak terpaku pada symbol-simbol formal. Dengan demikian mereka seakan tidak pernah “dikecewakan”oleh keyakinan mereka terhadap kebenaran dan keunggulan.

#18 Faktor – Faktor  yang Mendukung Keberhasilan

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Islam dalam konsep mengajarkan manajemen, menempatkan penguasaan ilmu dan keahlian sebagai kunci sukses utama  bagi pencapaian keberhasilan. Allah menjelaskan dalam firman Nya : Sesungguhnya Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan orang yang bertaqwa (58/al-Mujadalah:11). Demikian Rasulullah SAW ada mengisyaratkan bahwa penguasaan ilmu sangat menentukan bagi kesuksesan seseorang, sebagaimana sabdanNya : “Bagi siapa yang ingin mencapai kesuksesan di dunia hendaklah ia mempergunakan ilmu. Siapa yang ingin mencapai kesuksesan akhirat hendaklah ia menggunakan ilmu dan siapa yang ingin mencapai kebahagiaan pada kedua-duanya hendaklah ia menggunakan ilmu” (H.R.Bukhari Muslim).

Keberhasilan seseorang juga tidak lepas dari pembangunan dan pemanfaatan networking dalam profesinya. Networking dapat didefinisikan sebagai keunggulan sekelompok orang yang bersatu, saling memperkuat daya yang dimiliki masing-masing untuk mencapai satu tujuan.

Al Ries dan Jeck Trout dalam buku Horse Course mengumpamakan pemanfaatan networking dengan memilih kuda balap, sehingga seseorang harus hati-hati dalam memilih kuda yang tepat.

Seseorang dapat membangun kerjasama dengan membina tali ukhuwwah dengan teman-teman sekolah, teman-teman sehobbi, seprofesi, keluarga, lingkungan pergaulan istri, koneksi pimpinan, arisan, STM, tetangga, dll, baik dalam bentuk ukhuwah islamiyah ukhuwah insaniah, dan ukhuwah wataniyyah.

Kemampuan dan budaya untuk mengevaluasi diri menjadi salah satu faktor bagi kesuksesan seseorang dalam  meniti karirnya, dalam bahasa agama dimaksudkan sebagai muhasabah, yang dalam penyelesaian selanjutnya digunakan lembaga taubat, terutama bagi hal-hal yang ditemukan sebagai kesalahan atau penyimpangan. Sebab kemampuan mengevaluasi diri dan upaya bertaubat dari kesalahan akan memungkinkan seseorang untuk dapat lebih waspada dan tidak menyombongkan diri pada masa berikutnya.

Komunikasi juga merupakan salah satu faktor penting bagi kesuksesan seseorang. Seseorang harus menkomunikasikan aktifitasnya kepada Tuhan dalam bentuk ibadah vertikal, dan komunikasi dengan pimpinannya dilakukan dengan bekerja secara efektif, baik dan shaleh, begitupula dengan menjalin komunikasi yang baik sama manusia atau teman seprofesinya, seperti yang digambarkan mengenai Hablun minallah wa hablun minan nas dalam Q.S. 3/Ali Imran:112.

Di dalam kajian-kajian mengenai strategi pengembangan karier, penampilan dipahami sebagai mencakup kebersihan, tata rias, dan busana. Namun dalam keprofesian senantiasa dikaitkan hanya dengan keserasian dan keindahan. Sementara dalam perspektif Islam hal tersebut bukan hanya dikaitkan dengan keindahan fisik luar tetapi keseharian dalam hal moral juga penting, sebagai pendukung penampilan.

#19 Dampak Makanan Halal Terhadap Prilaku Manusia

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Disamping itu taqwa juga tidak hanya menjamin keselamatan hidup dalam didunia, namun juga keselamatan dihari kemudian berupa keselamatan dari siksa pedih azab neraka. Termasuk salah satu ajaran tentang ketaqwaan adalah memelihara makanan yang merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang tidak memiliki dampak langsung terhadap kehidupan manusia tidak hanya di dunia namun juga di akhirat.

Ajaran Islam tetanga kewajiban makanan halal, adalah firman Allah :

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

Makanlah dari makanan yang baik –baik (halal) dan kerjakanlah amal shaleh” (QS.23/al-Mukminun : 51)

Mencari makanan yang halal tidak hanya karena takut dosa agar selamat siksaan pedih di hari akhirat saja, melainkan upaya mencari makanan yang halal sangat diperlukan karena berpengaruh pada kualitas hidup dan berdampak langsung pada aktifitas serta perilaku seseorang.

Sebagaimana disinggung oleh ayat diatas tadi, bahwa perintah menjaga kehalalan makanan, dikaitkan dengan perintah mengerjakan amal sholeh, sehingga makanan yang halal akan berimplikasi pada kegemaran seseorang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik (amal shaleh). Tidak ada jaminan bagi seseorang yang mengikuti ceramah agama dari ulama kondang, akan menampakkan hasil berupa perubahan prilaku selama ada hal yang haram yang dikonsumsi. Sebab, makanan halal yang di konsumsi akan berkembang menjadi daging, bersamaan dengan meningkatnya kualitas kesalehan, lahir dan batin. Sabda Rasulullah :  “Barang siapa yang makan makanan halal selama 40 hari, maka Allah menerangi hatinya dan dia dialirkan sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lidahnya” (HR.Abu Nu’aim dan Abu Ayub).

Makanan halal akan berimplikasi pada tumbuhnya kepercayaan diri bahwa Allah akan senantiasa dekat dan akan memberi jalan terbaik, serta memperkenankan doanya. Sabda Rasulullah SAW : “Bahwasanya Sa’ad mohon kepada Rasulullah SAW untuk memohon kepada Allah SWT agar diperkenankan doanya. Lalu beliau bersabda “Baiklah makananmu, maka doamu diperkenankan” (H.R.Thabrani dan Ibnu Abbas).

Dapat kita simpulkan bahwa adanya kaitan secara  langsung antara makanan halal dengan prilaku dan perangai yang dimunculkan oleh manusia. Oleh karenanya salah satu cara untuk memunculkan prilaku dan perangai yang baik yang muncul secara kesadaran adalah dengan cara berupaya mengkonsumsi makanan halal. Semoga Allah membuka luas pintu hati kita untuk senantiasa memandang kehalalan dalam mencari rizqi dan kebaikan. Amiin ya Rabbal ‘Alamiin.

#20 Tanggung Jawab Mendidik Anak

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Salah satu kegagalan sebuah pernikahan disebabkan perbedaan cara pandang suami isteri tentang cara mendidik anak-anak mereka. Rumah tangga akan lebih baik apabila dalam mendidik anak kedua orang tua bersatu dalam menentukankannya. dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh Islam, agar keberhasilan orang tua dalam mendidik anak-anaknya lebih terjamin dan berhasil.

Keberhasilan pernikahan ditentukan oleh dijadikannya kesolehan masing-masing pasangan sebagai dasar dilangsungkannya pernikahan. Sehingga dalam menerima prinsip pendidikan Islam mereka tidak canggung dan yakin sepenuhnya akan mensukseskan mereka dalam mendidik anak nantinya. Kegagalan pernikahan pada umumnya disebabkan minimnya perhatian masyarakat akan pentingnya pernikahan Islami itu dijadikan prinsip dasar bagi terselenggaranya suatu pernikahan. Masyarakat tidak memperdulikan kesholehan dalam memilih calon Isteri maupun Suami dalam pernikahan sehingga sering kali berakibat fatal pada seluruh aspek rumah tangga.

Pertikaian yang terjadi dalam kehidupan sepasang suami isteri sering dalam berbagai bentuknya akan langsung berpengaruh pada pembentukan jiwa anak, sehingga pernikahan Islami harus segera diwujudkan sebagai salah satu unsur penting dalam pendidikan anak.

Baik suami maupun isteri masing-masing memiliki cara pandang dan pemikiran masing-masing dalam mendidik anak. Ada yang melandasinya melalui pengalaman pribadi, nasehat orang tua ataupun pengalaman para pendahulu mereka dari nenek maupun kakek mereka. Ada juga mereka yang mengadopsi kebiasaan, adat istiadat dan budaya dalam mendidik anak. Bahkan ada pula yang mencari tehnik mendidik anak melalui media informasi, membaca buku-buku psikologi anak dan mengikuti pandangan para pakar pendidikan. Namun ada pula yang menggunakan metode pendidikan Islam yang telah ada dalam al-Qur’an maupun didalam hadits-hadits Rasulullah.

Islam memandang suatu pernikahan itu sebagai ikatan antara dua individu dalam satu ikatan kuat dan suci. Terbentuknya keluarga menjadi dasar bagi terbentuknya satu masyarakat. Adapun anak-anak yang lahir merupakan buah dari pernikahan yang menjadi penyejuk mata dan anugerah dari yang kuasa. Maka dari itu keduanya harus memikirkan bersama-sama cara mendidik anak yang paling tepat dan metode apa yang harus dipilih untuk mendidik anak mereka. Kesepakatan mereka dalam memilih metode pendidikan anak menjadi pengikat keduanya dalam menjalankan bahtera keluarga.

Manusia diciptakan salah satunya adalah untuk memperbanyak keturunan dengan pribadi yang unggul. Anak tidak boleh disia-siakan karena perbedaan kedua orang tua dalam mendidik anak. Sebab anak adalah anugerah Ilahi yang harus dipelihara bukan untuk disakiti, disia-siakan atau dididik dengan kekerasan dan siksaan.

#21 Kerja Sebagai Faktor Pencipta Ketenangan Jiwa

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi ketenangan jiwa seseorang yaitu : situasi dan kondisi sekitar, rasionalisme, kesehatan, unsur material, nilai kerja.

  1. Situasi dan kondisi sekitar. Ketika kemampuan yang dimiliki seseorang tidak sebanding dengan beban yang dipikulnya, atau apabila lingkungan seseorang selalu bertentangan dengan hati nurani, maka akan menimbulkan gangguan psikologis yang pada gilirannya menjurus kepada keterpaksaan. Kondisi ini apabila dibiarkan berlarut-larut akan dapat menimbulkan kelabilan jiwanya.
  2. Bila rasio itu digunakan secara berlebihan akan dapat menimbulkan kegersangan jiwa, karena secara esensial rasio hanya merupakan penemu alternatif, bukan pemberi kepuasan. Keadaan ini pernah dialami umat Islam pada Perang Badar dan Perang Uhud yang secara rasional dalam segala hal umat Islam kalah dengan musuh sehingga menimbulkan isu keraguan akan ‘pertolongan Allah’ (Ali Imran,3:126 dan al-Anfal, 8:10). Demikian juga yang dialami Ibrahim yang ingin bukti nyata akan kemahakuasaan Allah berdasarkan rasio, yang akhirnya menyadari kelemahan akal (al-Baqarah, 2:260).
  3. Sudah barang tentu bahwa kesehatan sangat menentukan bagi adanya ketenangan jiwa seseorang. Oleh karenanya Islam menekankan bahwa akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat, meskipun tidak selamanya demikian.
  4. Unsur materi. Kendatipun bukan menjadi tujuan, materi adalah sarana kehidupan yang sangat mempengaruhi ketenangan jiwa seseorang. Salah satu contoh dapat dilihat dalam pelaksanaan ibadah. Tidak sedikit pelaksanaan ibadat yang tidak dapat dipisahkan dari unsur material. Apabila tidak disadari kedudukan materi di dalam kehidupan dan pelaksanaan ibadat, maka akan menjurus kepada ‘fitnah’ dan membawa kealpaan untuk mengigat Allah sebagaimana dialami oleh ummat Nabi Isa as. (al-Maidah,5:113) dan mereka menjadi budak nafsu (Yunus,10:7), an-Nalh, 16:112, dan al-Hajj, 22:11).
  5. Nilai kerja. Bila pekerjaan tidak berkaitan dengan ridha Allah, maka di saat-saat tertentu boleh jadi seseorang itu tidak mendapat perkenan di hadapan Tuhan. Bila hal ini berlangsung, maka orang tersebut bisa jadi merasa bersalah dan dikejar-kejar dosa, dan senantiasa dibayangi pertanyaan apakah aktifitas yang dilakukannya dianggap baik menurut agama. Itulah sebabnya nilai pekerjaan seseorang turut mempengaruhi ketenangan jiwanya.

Berangkat dari kenyataan itu, maka ketenangan jiwa akan diperoleh seseorang apabila ia bersedia menjalankan kelima faktor itu diatas petunjuk Allah SWT, pencipta kelima faktor ketenangan jiwa manusia itu. Cara yang dapat ditempuh agar mendapatkan ketenangan adalah menjadikan iman dan Islam sebagai landasan dan pencarian ridha ilahi sebagai tujuan dalam aktifitas kesehariannya.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa iman yang membentuk jiwa yang tenang itu bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi harus didukung banyak hal. Karena itu pekerjaan harus dibangun dengan landasan keimanan dan keislaman agar memberikan ketenangan jiwa bagi pelakunya dan memberi kegairahan kerja. Ketenangan jiwa akan meningkatkan produktifitas karyawan jauh melebihi karyawan perusahaan lain yang tidak dibangun di atas landasan keislaman dan keimanan.

#22 Terbarkanlah Salam

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Seorang muslim ditekankan untuk membudayakan salam (assalam ‘Alaikum warahmatullahi wabarakatuh) dan muslim yang lain diwajibkan membalasnya dengan ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Perjumpaan seseorang dengan orang lain menurut Islam merupakan pertemuan dua makhluk yang saling berdo’a kepada Allah untuk keselamatan saudaranya.

Allah SWT di dalam surah al-Nisa ayat:86 berfirman : “Dan apabila kamu diberi penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau hendaklah kamu membalasnya (dengan sepadan) sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Memperhitungkan” (al-Nisa:86).

Rasulullah SAW bersabda : “Ada dua perkara yang iri orang kafir kepadamu yaitu, ucapan “aamiin” bersama-sama di belakang imam sewaktu shalat dan ucapan  “salam” diantaramu” (al-Hadis).

Kalau kita perhatikan ayat dan hadis tersebut maka salam merupakan budaya Islam yang harus dikembangkan secara bersama, tanpa membedakan status sosial kita, Bahkan Rasulullah SAW selama hidupnya telah mencontohkan bahwa sepanjang hidupnya belum pernah didahului orang lain dalam mengucapkan salam, kecuali sewaktu berada di Mesjid al-Haram. Beliau bahkan memperingatkan kita : “Tidak beriman kamu kalau kamu tidak ada kasih sayang, dan tidak akan ada kasih sayang diantara kamu, kalau kamu tidak menyebarkan salam” (al-Hadis).

Dari berbagai petunjuk di atas, tergambar bahwa pembudayaan salam sebagai tegur sapa, dikaitkan Allah dengan sifat-Nya sebagai Maha Memperhitungkan, maka pembudayaan salam dalam lingkungan pergaulan di perusahaan, akan membantu kesuksesan usaha dan aktifitas kita sebagai seorang muslim. Kita mengenal sejumlah tegur sapa, misalnya “selamat pagi, daag, dadaa, bey-bey, dsb. Tetapi secara tidak terelakkan tegur sapa yang dikaitkan dengan perhitungan Allah yaitu salam.

Bagi kehidupan berbangsa dan kehidupan sosial sekarang ini, salam dalam makna generik Islam terlihat semakin signifikan, sebab berbagai krisis, keterbukaan dan kebebasan yang sedang terjadi pada sisi tertentu  memunculkan fenomena disintegrasi sosial dan anarkis. Keadaan semacam itu mengancam “rasa kasih sayang” dan keselamatan diantara kita.

Bila hal ini semakin berlarut-larut, maka salam dalam makna generik Islam itu semakin ‘tidak efektif memadukan kita sebagai bangsa dan mayoritas berpenduduk muslim. Bila dikaitkan dengan hadis nabi di atas, maka tidak akan ada kasih sayang diantara kita, selama kita tidak menebar salam. Dengan demikian boleh jadi keselamatan kita sebagai bangsa akan terganggu, jika visi salam (keselamatan) sebagai makna generik Islam tidak membumi ditengah prilaku umat Islam. Untuk itulah kita harus menegakkannya (al-An’am:127).

Sebagai perusahaan yang bernuansa Islam, maka resosialisasi pembudayaan salam sebagai kata tegur sapa perlu kita galakkan terus. Sementara pembudayaan visi keselamatan antar sesama perlu dibangun melalui hubungan ekternal perusahaan agar missi nuansa Islam dapat dijalankan sebagai manifestasi keberagamaan dan keimanan warga perusahaan.

#23 Rizqi dan Metode Memperolehnya

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Allah SWT telah memberikan jaminan rizqi kepada semua makhluk-Nya, agar makhluk tersebut dapat hidup terhormat, tidak menundukkan kepalanya kecuali kepada Allah Pencipta Sang pemberi rizqi itu. Dan ketika Allah menciptakan makhluk, ternyata Dia telah menyiapkan dua macam karunia.

Pertama, karunia rububiyyah. Sebagai diketahui bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam, maka Ia telah menjamin rizqi mereka untuk mempertahankan hidupnya, tak terkecuali, apakah dia mukmin atau kafir; apakah dia baik atau jahat. Contoh yang sangat sederhana dapat disebutkan di sini adalah udara yang disediakan Allah untuk segenap makhluk-Nya.

Kedua, karunia uluhiyyah, yaitu pemberian Allah berdasarkan keadilan dan kasih sayang-Nya kepada mereka yang beriman dan taat kepada-Nya. Itulah nilai (keberkahan) dari rizqi, nilai yang terkandung di balik rizqi, dan balasan yang diberikan Allah kelak diseberang kehidupan dunia.

Secara penampakannya, seperti disebut dalam berbagai ayat Al-Qur’an, contoh-contoh rizqi itu adalah : Makanan (QS.5/al-Ma’idah:88 dan al-An’am:142), Air, yang menghidupkan (QS. Yunus : 31) Hasil usaha, Binatang ternak, Isteri dan anak-anak (Q.S. an-Nahl:72) dan semuanya itu dapat diperoleh siapa saja, sesuai kehendak Allah.

Akan tetapi karunia uluhiyyah, berupa nilai keberkahan, ketenangan, kebahagiaan memiliki harta, dan balasan di hari kemudian, hanya diperoleh mereka yang mau tunduk dan patuh kepada si pencipta dan si pemberi rizqi, yaitu Allah SWT.

Sepanjang yang dapat kita pelajari, paling tidak ada tiga metode yang diberikan oleh Allah bagi manusia dalam mencari rizqi.

  1. Berusaha sungguh-sungguh. Hal ini dapat dipelajari dari petunjuk Allah pada surah Hud:6. Kata dabbah dalam ayat itu mengindikasikan jaminan rizqi yang diberikan Allah hanya bagi mereka yang aktif dan bersungguh-sungguh. Demikian pula firman Allah : “ Dan di langit ada rizqimu, dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah sebenarnya, seumpama perkataanmu” (al-Dzariyat:22-23)
  2. Penguasaan ilmu dan managemen yang baik dalam usaha pencarian rizqi tersebut, tidak sembarangan, apalagi setengah-setengah, sabda Rasul : “Siapa yang ingin kebahagiaan di dunia, hendaklah ia menuntut ilmu, siapa yang ingin bahagia di akhirat hendaklah ia menuntut ilmu, dan siapa yang ingin bahagia pada keduanya, hendaklah ia menuntut ilmu”. Berkaitan dengan itu Mutawalli Sya’rawi pernah menulis : “Apakah Allah akan mengirimkan senjata rahasia kepada kaum muslimin ? tidak. Apakah Allah akan mengirimkan lampu aladin ? atau ilmu “bim salabim”? tidak juga, akan tetapi dia mengirimkan untuk mereka metode yang mampu membina manusia seutuhnya, lahir bathin, dunia dan akhirat. Mereka diberi karunia nilai-nilai yang memungkinkan mereka menguasai alam raya ini”.
  3. Pendekatan kepada Pemberi Rizqi. Dalam pencarian rizqi itu hendaklah segalanya dijalankan atas dasar ketaqwaan kepada Allah, sebagai pencipta rizqi itu. Bahkan seseorang akan memperoleh rizqi di luar dugaannya berkat ketaqwaan itu.(wa yarzuquhu min haisu la yahtasib).

#24 Kehidupan Yang Berkah Dan Berkualitas

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Salah satu ciri kehidupan berkualitas adalah kehidupan yang berkah. Berkah (barakah) adalah istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menyebut aspek dalam (di balik material) kehidupan manusia yang belum tentu diperoleh setiap orang meskipun ia terbilang sukses dari sudut material. Keberkahan dalam kehidupan hanya didapatkan oleh orang-orang yang senantiasa menyadari kaitan kehidupannya dengan Allah Swt.

Banyak orang yang mencapai keberhasilan secara material, akan tetapi karena tidak adanya keberkahan, akhirnya kesuksesan material tersebut mendatangkan malapetaka dan laknat bagi hidupnya, disamping memang banyak orang yang berhasil secara material dan memperoleh keberkahan pula dalam hidupnya. Pada sisi lain banyak orang yang hanya memperoleh keberhasilan sederhana secara material, namun karena hidupnya berkah, ia mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Begitulah, sehingga keberkahan merupakan bagian yang integral dalam kesuksesan hidup seseorang.

Berkah atau barkah (jama’nya barakat) yang berarti annama’ wazziyadah = tumbuh dan bertambah. Secara terminologis, kata berkah berarti “kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya”. Tetapnya kebaikan ini diibaratkan bagai tetapnya air dalam telaga. Firman Allah : “Sekiranya penduduk bumi beriman dan bertaqwa, akan Kami limpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi, akan tetapi bila mereka berdusta akan Kami balas kedustaannya” (al-A’raf:96).

Umat Nabi Su’aib mendapat malapetaka dan jauh dari keberkahan karena tidak beriman kepada Allah. Bani Israil karena kesabaran yang merka miliki dari penindasan Fir’aun, diberi oleh Allah keberkahan berupa daerah-daerah yang subur, yang sebelumnya mereka kuasai (al-A’raf, 7:137).

Al-khair al-ilahi (kebaikan yang bersumber dari Allah) itu muncul tanpa diduga (la yuh tasab) dan tak terhitung pada segi kehidupan, baik yang bersifat materi maupun non materi. Dan keberkahan yang bersifat materi itu pun nanti akan bermuara juga kepada keberkahan non materi dan kehidupan akhirat.

Keberkahan yang dianugerahkan Allah kepada manusia dalam berbagai aspek kehidupan dapat dirinci sebagai berikut :

  1. Keberkahan dalam keturunan dengan munculnya generasi-generasi yang kuat dan handal di segala bidang, serta harta benda yang diberikan-Nya kepada manusia. Semua itu kalau diberkati Allah, dijadikan indah bagi manusia. Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim As hampir putus asa akan memperoleh keturunan, karena ketuaannya. Akan tetapi karena rahmat dan keberkahan Allah, akhirnya ia memperoleh keturunan, seorang putera bernama Ishak as. Sehingga Ibrahim menjadi bahagia dan tenteram (Hud 11:73). Karena itu tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak beriman dan tidak berterima kasih kepada Allah (Ali ‘Imran:14 dan an-Nahl:72).
  2. Keberkahan dalam soal makanan yang dapat memberikan pertumbuhan manusia. Kita dibolehkan menikmati makanan, tetapi dibatasi untuk tidak melampaui batas (al-A’raf, 7:31). Makanan yang dinikmati itu haruslah yang halal dan bergizi, (halalan thayyiban) agar mendatangkan keberkahan bagi tubuh, keselamatan dan kecerdasannya, (al-BAqarah:168; al-Ma’idah:88, dan sebagainya).
  3. Keberkahan dalam hal waktu, dapat memanfaatkan waktu yang diberikan Allah kepada untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

#25 Marasakan Kehadiran Tuhan

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Ada cara beragama yang mempersepsikan Tuhan amat jauh dari kehidupan. Persepsi ini muncul dari pemahaman bahwa Tuhan Maha Tinggi dan Maha Gaib secara kaku, atau pemahaman bahwa Tuhan adalah Maha Pembalas dan Penghukum bagi setiap prilaku menyimpang. Pemahaman seperti ini jika berlangsung secara kaku akan melahirkan cara beragama yang amat gersang dan menegangkan, sehingga peran agama tidak begitu berarti dalam memberikan semangat dinamika dan ketenangan bagi para penganutnya, terutama di saat-saat terjadinya perubahan sosial yang amat cepat, seperti era reformasi di Indonesia.

Cara beragama yang positif adalah cara yang mempersepsikan bahwa Tuhan selalu “hadir” menyertai manusia, memberi petunjuk (hudan) terhadap apa yang akan dan seharusnya dilakukannya, dan memberikan pertolongan jika manusia mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.

Sesungguhnya Islam memberi petunjuk bahwa Allah senantiasa menyertai manusia dalam kehidupan kehidupan. Hal ini dapat di lihat umpamanya dalam ayat al-Qur’an, ketika Rasul bersama Abu Bakar di Gua Sur. Ketika keduanya berada dalam gua diwaktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Muhammad dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. (al-Taubah:40).

Pada ayat lain juga disebutkan : “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (al-Fajr : 14). “Dan yang kami wahyukan kepadamu dari kitab (al-Qur’an) adalah yang haq, membenarkan apa-apa yang sebelumnya (kitab-kitab). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha melihat hamba-hambanya”. (Q.S. 35/Fathir : 31).

Ayat-ayat diatas mengisyaratkan bahwa Allah SWT tidak pernah jauh dari manusia, apalagi meninggalkannya. Akan tetapi Dia selalu menyertai mereka bahkan dalam aktifitas Manusia.

Keyakinan akan kehadiran Tuhan dalam aktifitas kehidupan seseorang yang beragama paling tidak akan memunculkan tiga hal.

  1. Apabila melakukan amal (pekerjaan) yang baik ia merasa mendapat perkenan dari Allah, sekaligus menumbuhkan semangat kerja yang lebih tinggi. Pada sisi lain seringkali orang yang beribadah merasa mendapat respon dari Allah, sehingga dirinya merasa tenteram. Inilah yang pernah dirasakan para sufi ketika memperoleh “hal” dan orang-orang yang saleh.
  2. Orang yang merasa kehadiran Tuhan dalam hidupnya tidak pernah merasa sendiri dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang baik, sehingga akan muncul keberanian dalam dirinya.
  3. Orang yang merasakan kehadiran Tuhan akan memiliki rasa pengendalian diri yang tinggi. Rasulullah Saw bersabda : “Bahwa ada tiga keadaan (manusia) yang berkaitan dengan iman, (1) dalam keadaan emosi seseorang mampu mengendalikan dirinya, (2) dalam keadaan berkuasa (menduduki jabatan) seseorang tidak akan melampaui hak-haknya, dan (3) dalam keadaan gembira, dia tidak melewati batas/berlebihan”.

Mengapa tiga keadaan tersebut dihubungkan  dengan keimanan ? Sebab seorang mukmin dituntut untuk beriman bahwa Allah selalu hadir (ada), meskipun gaib. Setiap orang, jika memahami bahwa Allah SWT setiap saat hadir dalam hidupnya, ia akan senantiasa mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.

#26 Iman, Amal, Dan Persaudaraan

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Iman, amal dan persaudaraan adalah tiga aspek ajaran Islam yang berkaitan langsung dengan aktifitas hidup seorang muslim. Keterkaitan itu terjadi karena : Pertama, keimanan hendaknya mendasari segala aktifitas. Kedua, segala tugas yang diemban oleh manusia harus diyakini sebagai ajang untuk melakukan amal saleh. Ketiga, karena dua hal di atas, maka tugas-tugasnya senantiasa ditandai dengan munculnya kasih sayang dan persaudaraan.

Hakekat keimanan adalah keyakinan dengan sesungguhnya bahwa Allah Swt sebagai pencipta yang senantiasa Maha Rahman dan Maha Rahim kepada hamba-hambaNya. Keyakinan ini telah tercipta sejak manusia di dalam kandungan.

Dengan demikian keimanan merupakan ikatan perjanjian manusia dengan Tuhan, sehingga keimanan tersebut mendasari setiap aktifitas. Keimanan itu terkait dengan ‘keamanan’ dan kebahagiaan. Maka oleh sebab itu Iman yang kita jalankan hendaklah iman yang aktif, yaitu keimanan yang melahirkan amal shaleh. Sebab amal shaleh adalah perbuatan atau aktifitas yang dilakukan secara sadar dan sengaja, bersumber dari daya, pikir, fisik, dan kalbu, yang ditujukan untuk menegakkan ajaran Islam yang benar, atau kebenaran agama.

Maka setiap amal shaleh yang bisa membuahkan manfaat dan kebaikan dan dibenarkan oleh agama akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka yang mengerjakannya. Itulah sebabnya keimanan dan amal shaleh seringkali digandengkan dalam Al-Qur’an yang menandakan bahwa keduanya menyatu dalam suatu aktifitas seorang mukmin.

Namun jangan dilupakan bahwa iman dan amal harus dilakukan berdasar ikatan persaudaraan hati nurani. Hal ini mengingat : Pertama, Islam mengajarkan bahwa orang beriman adalah bersaudara. Kedua, persaudaraan yang hakiki adalah terjalinnya kerja sama spiritual (seiman dan secita-cita) dan kerja sama secara material (saling membantu dan memberi). Ketiga, Persaudaraan spiritual akan melahirkan sikap saling mengasihi, sesama muslim dan orang lain.

Al-Qur’an menggunakan kata ikhwah untuk persaudaraan berdasarkan pertalian darah, dan ikhwan untuk persaudaraan berdasarkan agama. Kecuali dalam ayat innamal mukminuna ikhwah= sesungguhnya orang beriman itu bersaudara. Oleh karenanya, meskipun persaudaraan dalam lingkungan sebagai persaudaraan seagama dan seprofesi, hendaknya kita anggap pula sebagai persaudaraan seketurunan agar memunculnya rasa senasib sepenanggungan.

Sehingga persaudaran semacam ini akan melahirkan :

  1. Rasa aman dan kebahagiaan
  2. Rasa optimisme menghadapi masa depan
  3. Rasa saling percaya dan saling mendukung
  4. Semangat kerja keras dan meningkatkan kualitas kerja sesuai bidang masing-masing.

#27 Islam Dan Problem Solving

 اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Manusia dalam kehidupannya senantiasa mendambakan keberhasilan dan kesuksesan dalam aktifitas dan rencana-rencananya. Akan tetapi dalam kenyataannya, manusia harus berhadapan dengan berbagai persoalan dan problem yang hampir tidak pernah sepi, sehingga wajarlah apabila al-Qur’an menggambarkan kehidupan manusia itu sebagai jihad, karena dalam kehidupan itu ada perjuangan hidup manusia, sebagaimana   dapat kita lihat dalam firman Allah swt. yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?  (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya”. (al-Shaf: 10-11)

Meskipun berbagai persoalan hidup selalu muncul dihadapan manusia, sebenarnya ia tidak pantas untuk menyerah dan pasrah begitu saja, sebab manusia telah dianugerahkan Allah kekuatan akal sebagai sebagai daya menghadapi pergumulan hidupnya, sehingga dengan akal itu dimungkinkan bagi manusia dapat memecahkan berbagai problematika hidupnya. Apalagi Al-qur’an juga menegaskan bahwa dibalik kesulitan yang dihadapi manusia, pasti ada kemudahan yang banyak yang akan diberikan Allah, sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (an-Nasr: 5)

Atas dasar diatas, kiranya tidak ada problem yang sulit yang tidak dapat dipecahkan sepanjang ada upaya yang diusahakan manusia untuk keluar dari kesulitan itu, karena Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (ar-Ra’d:11).

Meskipun ada manusia yang memandang kehadiran problema sebagai suatu kendala yang memusingkan, itu dikarenakan ia tidak siap menghadapi kenyataan yang diterimanya. Sebab hendaknya sebelum menggantungkan suatu harapan, seseorang harus mengantisipasi munculnya kendala yang mungkin dihadapinya. Dan menyiapkan langkah-langkah antisipatif apabila harapan-harapan yang dimilikinya tidak sesuai dengan rencana.

Langkah-langkah tersebut adalah:

  1. Tetap menjaga kewaspadaan dan berusaha agar bekerja sesuai standard yang ditetapkan baik standard perusahaan maupun standard ajaran Islam.
  2. Menjalin tali persaudaraan juga dianggap sebagai sikap waspada, sehingga dengan demikian ia tetap menjaga keramahan kepada siapa saja.
  3. Teguh dan kuat menjaga amanah dari pimpinan, tidak menyalah gunakan kewenangan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu menjaga sikap agar ditiru oleh orang lain sebagai pemberi tauladan yang baik kepada orang lain.
  4. Mencipatakan hubungan yang harmonis antara karyawan dengan pimpinan, yang dibangun atas dasar tali persaudaraan muslim yang saling mendukung satu dengan lainnya, sehingga dengan kesadaran tersebut terciptalah suasana kerja yang hangat dan harmonis.

Apabila sistem perusahaan tersebut dapat dijalankan dengan semangat keislaman, maka permasalahan yang menjadi kendala usaha akan dapat diperkecil, karena Islam merupkan solusi bagi setiap problema yang dihadapi oleh masing-masing individu muslim.

#28 Islam Dan Teologi Komersial

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Mengapa kalian tidak jadi pedagang, padahal Nabi kalian adalah pedagang yang ulet dan berhasil?” demikian kata Prof. Sutan Takdir Ali Syahbana kepada para mahasiswanya dalam satu pertemuan. Memang kalau diamati secara seksama persoalan sangat serius yang dihadapi ummat Islam adalah keterbelakangan ekonomi. Dan hal ini seringkali disebabkan lemahnya keinginan mereka untuk menjadi pedagang atau menjadi pelaku ekonomi. Terlebih lagi  ada yang memahami bahwa agama harus dipisahkan dari dunia ekonomi, karena adanya hadis-hadis yang mengisyaratkan agar seseorang untuk tidak mengejar dunia. Dan untuk menghindari dampak agar ummat Islam tidak terjebak dalam praktek riba sebagaimana lazimnya terjadi dalam dunia ekonomi, sehingga para ahli tasauf sering mengaggap bahwa terjun ke dunia ekonomi dapat meghilangkan keteguhan iman seseorang.

Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi Muhammad yang menekuni aktifitas hidupnya secara serius sebagai pedagang, baik bersama pamannya Abu Thalib, maupun bersama Siti Khadijah, yang kemudian menjadi isterinya. Untuk itu persoalan ekonomi bagi ummat Islam harus dimasukkan dalam pemahaman agama agar mereka tidak ketinggalan atau bahkan tertindas akibat kegagalan ekonomi. Sebagaimana Malik bin Nabi, seorang ahli sejarah Muslim dari Al-Jazair menyebutkan: “berbagai problema yang dihadapi ummat Islam dan menghambatnya untuk merealisasikan kebangkitannya, dan satu di antaranya adalah orientasi kapital. Artinya, ummat Islam kekurangan modal untuk proyek-proyek pembangunannya di segala bidang.

Al-Qur’an telah memberi isyarat mengenai kaitan antara kehidupan dengan perdagangan. Diantaranya :

  1. Firman Allah : “Allah telah membeli dari orang beriman jiwa raga dan harta mereka supaya mereka beroleh teman (surga)” (QS.al-Taubah: 111).
  2. Surah al-shaf yang menjadi landasan filosofi perusahaan juga telah mengisyaratkan bahwa hidup dan pergumulannya adalah merupakan perdagangan antara manusia dengan Tuhan. Atas dasar itu Allah Swt menjelaskan bahwa tidak ada aktifitas manusia yang tidak diperhitungkan oleh Allah Swt; yang baik diganjar dengan kebaikan dan yang buruk akan diganjar keburukan. Buku Neraca “perdagangan” hidup itu akan diterima manusia di hari perhitungan kelak, yang merupakan catatan bagi segala aktifitas manusia di dunia. Firman Allah : “Setiap orang, nasibnya sudah kami kalungkan di lehernya, pada hari kiamat akan kami keluarkan baginya sebuah gulungan yang akan dilihatnya sudah terbentang” (QS.17/al-Isra’:13)
  3. Pada ayat lain Allah Swt bahkan menguraikan balasan yang bersifat kuantitatif. Misalnya : “Perumpamaan mereka yang menyumbangkan harta di jalan Allah seperti sebutir biji menumbuhkan tujuh butir; pada setiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas Maha Mengetahui” (QS.2/al-Baqarah:261).

Dari isyarat-isyarat al-Qur’an mengenai hubungan kehidupan dengan perdagangan dapat diketahui bahwa konotasi perdagangan bukan hanya dalam hal material, tetapi juga spiritual dan mental. Untuk itu isyarat itu dapat diterjemahkan sebagai mengajarkan nilai-nilai: Kesungguhan dan etos kerja, Keadilan dan ketaatan pada hukum serta nilai-nilai disiplin dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Demikian Kumpulan Materi Kultum Persiapan Ramadhan 1443 H.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *