Oleh: Rudi Hendrik
Lestari menadahkan muk pelastik merahnya menerima air yang ia kucurkan dari keran dispenser. Setelah penuh, ia hentikan kucuran air dan muk ia tutup dengan penutupnya. Di tempat kerja yang serba debu seperti itu, penutup gelas atau muk sangat penting untuk menjaga kebersihan air minum.
Gadis bertubuh langsing berambut sebahu itu harus kembali ke tempat kerjanya yang berposisi agak jauh di dalam pabrik.
Suara bising mesin kompresor, mesin potong papan, mesin v-cut, hingga mesin router menjadi satu dalam keseharian jam kerja di pabrik boks speaker tersebut. Aroma debu dari ampas papan dan lem aibon yang digunakan sebagai perekat dalam produksi, sudah akrab di penciuman. Tidak ada lantai pabrik yang bebas dari debu, bahkan debu itu menggunung di sekitar area mesin potong.
Sepasang kaki bersendal jepit Lestari menapaki lantai pabrik yang berdebu. Ia melalui beberapa tumpukan papan lebar hingga tumpukan papan yang sudah melalui proses potong.
Tampak beberapa pekerja pria yang bermain tunggal fokus dengan pekerjaannya. Agak berbeda dengan kelompok beregu di bagian penyemprotan lem dan pelapisan vinyl, mereka bekerja sambil mengobrol hingga bercanda ria, ketika memang mandor tidak berdiri di dekat mereka.
Sejenak Lestari memandang ke mesin v-cut yang besar. Sebuah mesin yang memiliki lima pisau pemotong v yang berbentuk seperti cakram tebal. Mesin besar itu tampak sedang berhenti bekerja. Meski besar, tetapi mesin itu hanya dijalankan oleh seorang operator saja.
Lestari tidak melihat operatornya. Namun, ketika Lestari terus berjalan, matanya yang diam-diam mencari akhirnya menemukan si operator mesin v-cut. Tampak di balik tumpukan papan hasil v-cut yang tersusun rapi, sedang berdiri bersedekap seorang pemuda yang tampannya biasa saja, khusyuk menghadap kiblat. Pemuda berkaos warna hitam itu sedang menegakkan salat di atas lembaran papan yang ia letakkan di atas lantai yang tebal oleh debu serat kayu.
Pemuda itu bernama Irwan, seorang karyawan yang belum lama bekerja di pabrik PT. Gayanomi, tapi dalam waktu singkat ditempatkan untuk memegang mesin besar oleh mandor. Mesin v-cut adalah mesin terbesar di pabrik bok speaker itu.
Meski wajahnya datar-datar saja, tapi apa yang dilakukan oleh Irwan yang tidak biasa itu, membuat hati Lestari tersenyum.
Meski salat adalah hal yang wajib bagi umat Islam dan sudah menjadi ibadah rutinitas, tapi melaksanakan salat adalah hal yang tidak biasa jika itu dilakukan di Gayanomi. Kondisi itu tercipta karena hampir semua karyawan di pabrik itu tidak mengenal yang namanya praktik agama. Bisa dikatakan hanya satu dua orang yang biasa melaksanakan salat, itupun karyawan perempuan. Dan lebih tidak lazimnya lagi, Irwan melakukan salat di tengah hamparan bukit debu, bahkan terkadang dengan kondisi pakaian dan tubuh berselimut debu. Beberapa kali juga Irwan terlihat salat di tempat yang tinggi, di atas tumpukan papan lebar yang belum melalui proses potong. Namun, Irwan terlihat bersikap cuek saja dengan ibadah yang ia lakukan itu.
Lestari akhirnya tiba di area kerjanya yang disebut Bagian Asesoris. Ia duduk di kursinya, berseberangan meja dengan Syamsiah, seorang wanita muda, tapi wajahnya tampak jauh lebih tua dari Lestari. Syamsiah adalah seorang janda muda beranak satu. Usianya selisih 12 tahun dengan Lestari yang berusia 22 tahun.
“Mpok, memang gak apa-apa salat di tempat debu begitu?” tanya Lestari sambil pandangannya terlempar jauh memandang ke posisi Irwan yang sedang sujud.
“Siapa?” tanya Syamsiah. Wanita Betawi itu tetap bekerja menggunting kain biru terang yang merupakan bahan penutup frame, salah satu komponen boks speaker kayu yang nanti menutupi speaker aktifnya.
“Irwan,” jawab Lestari, masih memandang ke sana.
Syamsiah lalu berhenti sejenak, ia menengok ke arah posisi mesin v-cut berada. Pandangannya segera mendapatkan Irwan yang baru bangun dari sujud.
“Mpok tidak tahu. Tapi, jika seandainya tempat debu seperti itu najis, lalu kenapa Irwan salat di sana?” kata Syamsiah. “Kamu memperhatikan saja.”
“Tidak, hanya penasaran saja, kenapa Irwan salat di tempat seperti itu,” kilah Lestari dengan sedikit senyum mengandung rasa malu.
“Kamu tanya langsung saja ke Irwan,” kata Syamsiah.
“Ih! Tidak akrab, Mpok!” kelit Lestari.
“Dia itu guru mengaji loh, Tari. Setelah magrib dia mengajar ngaji di rumah Mpok Biah. Mpok belum pernah lihat dia duduk bareng dengan gadis di Dadap,” kata Syamsiah dengan nada agak bersemangat.
“Mpok mau katakan bahwa Irwan itu belum punya pacar, kan?” terka Lestari.
“Anak cerdas!” seru Syamsiah lalu tertawa. “Biasanya gadis yang sedang jatuh hati itu, otaknya bekerja encer.”
“Siapa yang jatuh hati, Mpok? Saya enggak jatuh hati kok, hanya penasaran saja Irwan salatnya di atas debu,” bantah Lestari dengan wajah berubah agak panik bercampur setengah malu.
“Mpok enggak nuduh kamu jatuh hati kok, biasa aja dong nyangkalnya, hahaha!” kata Syamsiah lalu tertawa keras, karena merasa lucu dengan reaksi Lestari.
Lestari hanya merengut jadinya, membuat Syamsiah tambah tertawa nyaring.
“Woi! Ramai sekali!” teriak seorang gadis lain yang duduk berkelompok bersama tiga gadis lainnya di meja yang lain. Gadis berwajah hitam manis bermodel wajah wanita India itu bernama Eka. Ia dan teman-temannya sedang mengerjakan pekerjaan elektronik yang merupakan komponen speaker aktif.
“Mau tahu saja!” sahut Syamsiah seraya masih menyisakan tawanya.
Akhirnya Lestari hanya tersenyum kepada para gadis di meja lain itu. Sebelum kembali fokus kepada pekerjaannya, Lestari masih sempat melempar pandangannya ke area mesin v-cut. Di sana, tampak Irwan kembali menyalakan mesin kerjanya. Lestari agak menggeser kursinya, karena pandangannya agak terhalang oleh tumpukan papan kecil-kecil.
Syamsiah hanya melirik Lestari sambil tersenyum sendiri. Ia bisa menebak apa tujuan Lestari menggeser kursinya.
“Mpok ke toilet dulu, ya,” kata Syamsiah kepada Lestari.
“Ya, Mpok.”
Syamsiah lalu beranjak dari duduknya. Untuk sampai ke toilet wanita bercelana jeans biru itu harus keluar sampai ke depan gedung, sebab toilet ada di luar bangunan.
Dalam perjalanannya, Syamsiah memungut sepotong kayu kecil. Ketika berlalu tidak jauh dari area mesin v-cut, wanita itu melempar kayu di tangannya kepada Irwan yang sedang berdiri menunggu mesin yang berjalan sendiri.
Lemparan itu tepat mengenai lengan kanan Irwan, membuat pemuda itu cepat menengok. Irwan yang menutup separuh wajahnya dengan balutan handuk kecil, melihat Syamsiah berjalan seraya tertawa tanpa suara memandangnya. Hal itu hanya membuat Irwan berdiri diam menatap heran. Selanjutnya Irwan kembali melanjutkan pekerjaan.
Irwan mengambil sebilah papan yang menempel di tatakan besi mesin v-cut. Papan itu sudah terpotong tipis di tiga sisi, tapi tidak sampai memotong lapisan vinylnya, sehingga jika papan itu ditekuk semua, maka akan membentuk kotak papan yang sudut-sudutnya melekuk rapi dan halus. Dengan gerakan cepat, Irwan meletakkan papan hasil potongan itu ke susunan yang rapi, lalu ia mengambil papan yang lain yang masih lurus utuh. Papan itu ia letakkan di tatakan besi yang memiliki lubang-lubang penyedot yang kuat, sehingga ketika mesin itu di jalankan, papan yang terpotong oleh tiga mata pisau yang berputar sangat cepat tidak mengalami pergeseran sedikit pun.
Irwan terus bekerja demikian sehingga tumpukan papan yang hendak dipotong oleh mesinnya habis. Irwan harus mematikan mesinnya. Ia kemudian pergi dengan membawa sebuah lori papan ke bagian pemasangan vinyl. Di area pengeleman dan pemasangan vinil tampak sudah ada pula tumpukan papan yang siap diproses di mesin v-cut.
Dengan gerakan yang hati-hati, Irwan memindahkan sedikit demi sedikit tumpukan papan ke atas lori. Lapisan vinyl yang sudah menempel rapi di papan tidak boleh lecet sedikit pun agar tidak rusak.
Saat bekerja seperti itu, Syamsiah berlalu di dekat Irwan, kembali dari toilet. Irwan baru melihat keberadaan Syamsiah ketika wanita itu sudah berlalu. Irwan terdiam sejenak seraya memandang sisi belakang tubuh Syamsiah.
“Hayyo! Ketahuan memandangi janda kembang!”
Terkejut Irwan saat tiba-tiba mandor Solihin memergokinya memandangi tubuh belakang Syamsiah.
“Hahaha!” tawa Irwan pelan, lalu katanya, “Tidak bisa alasan saya kalau sudah kepergok seperti ini.”
Solihin sambil tertawa-tawa lalu merangkul bahu Irwan, menunjukkan bahwa keduanya memang akrab.
“Kalau kamu mau, saya juga bisa jadi mak comblangnya, Wan,” kata Solihin.
“Tapi saya memandang Mpok Syamsiah bukan karena itu, Mas,” kata Irwan. “Saya mau tanya sesuatu kepadanya.”
“Oke deh, saya akan menunggu perkembangannya. Kalau jadian, jangan lupa syukuran, hahaha,” kata Solihin yang adalah seorang pria Jawa Tengah. Ia lalu meninggalkan Irwan yang hanya tersenyum.
Irwan melanjutkan pekerjaannya. Setelah lorinya penuh, barulah ia mendorong tumpukan papan itu ke tempat mesinnya. Tenaga yang dikeluarkan untuk mendorong lori yang sarat muatan tersebut cukup besar dari otot tangan dan kedua kaki.
Setelah sampai, ternyata Irwan tidak langsung melanjutkan pekerjaannya, tetapi pergi ke Bagian Asesoris. Ia menghampiri Syamsiah yang sudah duduk bekerja di tempatnya.
Kedatangan Irwan kepadanya cukup membuat Syamsiah terkejut, tapi kemudian tertawa kecil. Di seberang meja, Lestari hanya diam memandangi Irwan. Meski demikian, ada debar-debar di dalam dadanya. Dalam hati Lestari khawatir jika Syamsiah bersikap iseng dengan menyampaikan hal tadi kepada Irwan. (RH)
Bersambung ….