Oleh: Rudi Hendrik
Afrizal terus berlari di antara reruntuhan gedung. Ia baru saja meninggalkan titik yang mendapat jatuhan beberapa bom dari jet tempur F-16 Israel.
Dengan mengenakan seragam loreng hitam dan biru gelap, kepala dan wajah ditutupi topeng kain hitam, berikat kepala khas milik Brigade Izzuddin Al-Qassam, Afrizal melewati medan penuh batu-batu bangunan yang hancur berserakan tidak teratur. Beberapa granat lempar menggantung di seputar pinggangnya. Tangan kanannya membawa sebuah benda seperti tongkat pendek tapi cukup gemuk ketebalannya.
Baca juga :
Kali ini Afrizal mendapat tugas khusus. Sebanyak 15 tank sudah melewati perbatasan dan masuk ke daerah kantong yang diblokade itu. Pasukan tank Israel bergerak menuju ke daerah permukiman warga Palestina. Keberhasilan misinya kali ini akan menjadi penentu penting dalam perang di hari itu dan akan bisa menyelamatkan banyak nyawa warga sipil.
Di sisi lain, jet-jet tempur Israel secara membabi buta terus membombardir target-target yang mereka sebut bangunan atau posisi para pejuang Hamas. Padahal faktanya, untuk hari itu, semua yang menjadi target serangan udara adalah bangunan milik warga sipil.
Beberapa menit lagi waktu magrib akan tiba. Sementara langit mulai meredup warnanya seiring matahari yang sebentar lagi hilang dari pandangan.
Afrizal kini berada di balik reruntuhan sebuah gedung yang posisinya berada paling ujung di sisi utara Jalur Gaza. Ia berhenti sejenak dan berlindung di balik bebatuan. Ia memandang jauh ke depan, ke sebuah lahan kosong dekat perbatasan.
Suara menyeramkan dari mesin-mesin belasan tank baja menjadi musik mencekam bagi Afrizal. Ia melihat belasan tank Leopard bergerak maju laksana monster-monster baja tanpa nurani yang siap membantai Muslim Palestina di Jalur Gaza.
Jarak pasukan tank tinggal beberapa ratus meter lagi dari posisinya. Ia harus bertindak sekarang juga.
“Bismillah! Allahuakbar!” pekik Afrizal, lalu keluar dari persembunyian dan melakukan lari sprint menyongsong kedatangan barisan tank baja.
Setelah berlari sejauh seratus meter dan sebelum ada tentara Israel yang menembaknya dari tank, Afrizal melompat tiarap di tanah sambil tangan kanannya naik mengarahkan ujung tongkatnya ke langit.
Presss!
Setelah jempol tangan kanan itu menekan sebuah tombol, dari ujung tongkat melesat sinar merah terang naik tinggi ke langit. Sinar itu melesat miring ke atas posisi barisan pasukan tank Israel.
Boom!
Sinar itu pecah nyaring di udara.
Seeesst! Seeesst! Seeesst!
Namun setelah itu, puluhan suara nyaring roket-roket yang dilepas dari pangkalannya terdengar serentak dari berbagai tempat yang tidak terlihat. Hanya saja, tiba-tiba dari beberapa penjuru bermunculan puluhan roket, bahkan ratusan roket, yang melesat terbang ke udara dan menuju ke satu area. Area itu tidak lain adalah lokasi tempat belasan tank baja berada.
Blar! Blar! Blar…!
Roket-roket yang dilepaskan oleh para pejuang Brigade Izzuddin Al-Qassam dari posisi tersembunyinya itu menciptakan neraka bagi tank-tank Israel yang tidak berdaya mendapat hujan roket, lalu terciptalah ladang kehancuran.
Afrizal hanya memilih tiarap sedalam mungkin mencium bumi, tidak berani mengangkat kepalanya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya. Medan di depannya seketika berubah menjadi rimba ledakan yang saling berlomba-lomba menghancurkan dan menyebarkan gelombang-gelombang api bergumpal hitam. Tank-tank baja seketika seperti pion-pion di atas papan catur yang dihantam gebrakan keras.
Setelah suara luncuran roket dan ledakan berhenti, sementara alam di depan sana masih tertutup asap tebal serta hamburan debu dan tanah, tiba-tiba dari beberapa sisi di luar medan bom bermunculan kelompok orang-orang bertopeng dan bersenjata. Dari dalam tanah pun berkeluaran sejumlah pasukan seperti bangkit dari dalam kubur, kemudian bergerak cepat menerobos kabut sisa ledakan.
Tar tar tar…! Boom! Boom!
Suara tembakan terdengar serentet-serentet yang disusul ledakan-ledakan sedang. Granat-granat dilempar ke dalam bangkai-bangkai tank yang dicurigai masih dihuni oleh prajurit-prajurit Yahudi Israel yang masih hidup.
Para tentara berpakaian loreng gelap dan bertopeng itu tidak lain adalah pasukan Brigade Izzuddin Al-Qassam yang muncul dari dalam tanah. Mereka telah lama bersiaga penuh, disiplin di mulut-mulut terowongan yang keberadaannya terjaga kerahasiaannya.
Sejenak, Afrizal mendongak dan menatap tajam ke daerah di depannya. Medan di depan mulai bisa terlihat. Seiring itu, pasukan perlawanan dari kelompok Hamas itu bergerak cepat dan kemudian menghilang masuk ke balik-balik gundukan tanah.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi dari pasukan tank Israel. Afrizal berdiri perlahan.
Namun, tiba-tiba suara jet tempur terdengar begitu dekat. Afrizal cepat berbalik dan melihat ke langit senja. Terlihat sebuah jet F-16 terbang mendekat tepat ke arah angkasa di atas kepalanya.
Set! Bluar!
Sebuat rudal ditembakkan ke posisi Afrizal.
Tubuh Afrizal terlempar terbang saat rudal jatuh beberapa puluh meter dari posisi berdirinya. Ia jatuh berdebam di tanah. Tubuh pemuda itu diam tidak bergerak.
Namun, dalam hitungan angka, tubuh Afrizal bergerak pelan, lalu bergerak berusaha untuk berdiri.
“Allahuakbar! Aaak…!” pekik Afrizal menahan sakit. Tubuh dalamnya serasa remuk bersama tulang-tulang yang terasa bercopotan.
Lagi-lagi suara jet tempur Israel terdengar mendekat memekakkan telinga.
Buru-buru Afrizal berlari kencang. Ia berlari menuju ke sebuah menara yang berdiri tinggi utuh, tapi bangunan masjid yang menjadi bagian utamanya, telah hancur parah.
Pesawat itu berlalu lewat jauh di atas kepala Afrizal tanpa melepaskan rudal. Hingga akhirnya Afrizal sampai di bawah menara.
Sepengetahuan Afrizal, di puncak menara masjid itu ada sebuah senjata antipesawat sederhana. Karenanya ia segera berlari menaiki tangga menara.
Sementara itu, kembali sebuah pesawat datang mendekat. Seolah-olah perang terjadi hanya antara Afrizal dan jet tempur Israel. Kembali, jet itu hanya lewat. Namun, jet lain segera datang mendekat seiring Afrizal yang terus berlari ke atas.
Setibanya di atas, memang ada sebuah senapan antipesawat yang sederhana untuk kelas perang sehebat saat itu. Afrizal segera meraihnya.
Set! Bluarr!
Belum lagi Afrizal mengoperasikan senjata serbu itu, sebuah rudal dari jet F-16 melesat cepat menghantam puncak menara.
Afrizal yang tidak terkena langsung, terpental ke luar jendela menara yang juga turut hancur. Tubuh Afrizal meluncur jatuh menuju reruntuhan bangunan masjid. Dipastikan tubuh Afrizal akan hancur menghantam bebatuan.
Jbuur!
“Hupbleqelk…!”
Afrizal seketika gelagapan di dalam asinnya air laut yang gelap, setelah tubuhnya meluncur jatuh dari atas bagan. Ia telah bermimpi hebat di tengah laut sehingga tanpa sadar tubuhnya berguling ke samping dan jatuh dari lantai bambu tempat ia tidur.
Namun, sebagai seorang nelayan, pemuda berkulit hitam dan bertubuh kekar itu segera bisa menguasai dirinya. Ternyata ia sudah terbawa ombak laut malam sejauh beberapa puluh meter dari area kaki-kaki bagannya. Afrizal segera menguasai diri dan berenang menuju kaki bagannya.
Bagan adalah salah satu bangunan dari rakitan puluhan bambu di tengah laut berbentuk kotak dengan memiliki empat sudut kaki utama. Keempat kakinya terbuat dari kayu nibung yang lurus panjang menancap ke dasar laut. Bagan jenis ini tidak bisa berpindah-pindah tempat. Adapun bagan yang bisa berpindah-pindah tempat adalah bagan jerigen yang kakinya tidak menancap ke dasar, tapi mengapung dengan bantuan puluhan drum pelastik dan sebuah jangkar. Di bagian atas bagan dibuat lantai dari bambu dan papan secukupnya, serta sebuah rumah anjing untuk berteduh dan tidur. Bagian atas juga dilengkapi dengan dua tiang kayu yang menjulang tinggi. Di salah satu sisi tepian bagan, ada alat pemutar tali jaring yang berfungsi menurunkan dan menaikkan jaring besar dan lebar ke dalam air.
Afrizal akhirnya mencapai bagannya. Ia berhenti sejenak dengan tubuh sedada di dalam air dan tangan kirinya memegang bambu bagan. Tangan kanannya mengusap air di wajahnya. Di tatapnya langit yang mulai memutih samar. Dari kondisi langit, sebagai seorang nelayan, Afrizal tahu bahwa saat itu sudah mendekati waktu subuh. Ia juga memandangi sejenak tiga buah lampu petromak yang digantung tepat di bawah rumah anjing di tengah-tengah bagan. Lampu-lampu terang itu menggantug dengan tali, hanya beberapa meter di atas permukaan air laut yang berombak cukup tinggi.
Pemuda yang hanya bercelana training biru itu segera naik ke kaki-kaki bambu bagan, lalu memanjat naik ke atas mencapai lantai.
“Allaaahuakbar! Al-Aqsha haqquna! (Allah Maha Besar! Masjid Al-Aqsha hak kami!).”
Tiba-tiba Afrizal berteriak keras kepada luasnya laut dan langit saat berdiri di tepian bagan. Pemuda berusia 25 tahun itu lalu tertawa bangga, ia tidak menggubris dingin yang tercipta oleh angin laut yang membelai tubuh basahnya. (RH)
Bersambung ….